Rasionalisme Bodoh Pada Pemilihan Umum

Sabtu, November 09, 2019
Halo. Sudah lama sekali rasanya blog ini tidak terisi tulisan baru, karena kesibukan di berbagai sektor yang saat ini memerlukan perhatian saya, dan tuntutan tugas-tugas pekerjaan yang semakin tinggi. Beberapa bulan belakangan, kondisi politik dan media sosial yang carut-marut juga membuat banyak topik yang menurut saya cukup menarik untuk dibahas, berpotensi untuk bikin perpecahan dan pertengkaran khususnya dalam ranah dunia maya.

Agar sebuah demokrasi bisa berjalan dengan baik demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, maka orang-orang yang ikut pemilu harus memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai agar mereka bisa memahami kondisi negara dan mempertimbangkan dengan baik siapa pemimpin yang akan mereka pilih. Pemilih yang cerdas akan membuat bangsa ini jadi maju, tapi pemilih yang bodoh akan membuat bangsa ini jadi bobrok. Dan, di situlah letak permasalahan pemilu di negara kita ini: sebagian besar pemilih tidak memiki kapasitas dan pengetahuan yang cukup untuk memilih dengan baik dan penuh pertimbangan. Orang-orang yang ikut pemilu sebagian besar adalah orang-orang yang tidak mengerti apapun tentang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum atau tentang hak asasi manusia.

Banyak diantara kita yang belum ngeh dengan berita-berita politik yang berkeliaran di media, dan seberapa pentingnya kita, sebagai pemilih pemula, untuk bisa menjadi generasi yang melek politik. Kebanyakan dari kita masih sekedar main sosial media, untuk eksistensi saja. Bukan untuk memperkaya diri, belajar sejarah, menambah pengetahuan.


Sebenarnya yang saya mau bahas sepele, mengenai bagaimana kita memilih calon pemimpin. Entah dalam pemilihan Presiden, DPR, atau Pilgub. Belajar dari musim pemilu yang sebelumnya, masih banyak sekali terjadi pelanggaran dalam etika pemilihan. Mulai dari banyaknya Paslon yang sok peduli terhadap lingkungan, ada juga yang merasa bertanggungjawab terhadap infrastruktur desa, hingga merasa jadi pahlawan dalam lingkup pendidikan dan kesehatan sehingga membuat jadwal untuk kunjungan ke desa-desa. Walaupun yang dilakukan masih dalam ranah sesuatu yang tidak melanggar, pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran dan sebagian masyarakat tidak menyadari itu. Jadi wajar saja jika satu suara bisa dibeli seharga 30.000 rupiah dan menjadi hal yang "wajar" di mata masyarakat karena hal ini. Inilah Rasionalisme Bodoh Dalam Pemilihan Umum. Karena akibatnya mereka memilih bukan karena pertimbangan matang yang rasional berdasarkan data dan fakta, tapi berdasarkan hal-hal bodoh, seperti seberapa besar uang yang diterima sehingga mereka mengukur pada masing-masing calon yang terbesar uangnya akan dipilih.

Untuk menanggulangi tentang regulasi pemikiran semacam ini, sepertinya perlu diberikan sosialisasi mengenai aspek-aspek pemilihan yang bersih dan murni. Dan juga menanamkan betapa pentingnya nasib bangsa, betapa berharganya suara kita yang akan mengubah keadaan daripada 30.000 yang hanya bisa buat beli nasi goreng dua bungkus saja. Inilah tugas Pemerintah dan Lembaga terkait untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Bisa dengan menggandeng komunitas Pemuda ata sejenis karang taruna di desa setempat, ataupun membuat kegiatan-kegiatan bersifat "fun" tetapi berisi mengenai pembelajaran tentang politik pemilihan langsung.



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.