Ajari Aku Menangis ; Sebuah Cerpen Mencintai Sahabat

Rabu, Agustus 19, 2015
Salam, kali ini coba bikin Cerpen tentang mencintai sahabat sendiri. Tetapi tak hanya itu, mencintai dengan diam-diam. Cerpen cinta dalam hati, cinta diam-diam. Cerpen ini berjudul "Ajari Aku Menangis" dengan setting Jakarta dan Jogja. Cerpen Cinta yang berakhir sedih. Selamat Membaca.

Cerpen Cinta Dalam Hati


Ajari Aku Menangis
Oleh : Wirasatriaji


“Yakin mau ke Jogya?” Tanya Cahaya yang melihatku membawa tas rangsel.

“Yakin.”

“Udah siap mental?”

“Siap.”

“Tahu enggak, kadang-kadang gue tuh nganggep elo kurang waras atau terlalu baik sama orang. Jelas-jelas hal kayak gini bakal bikin elo sakit hati…eit, jangan menyela dulu. Gue tahu banget apa yang elo rasain. Lo sahabat terbaik yang gue pernah punya, Laras, gue nggak mau elo terus-terusan nyakitin diri sendiri.”

“Kamu juga sahabat terbaik yang pernah saya punya. Thanks udah perhatiin, tapi untuk yang satu ini saya harus datang…” Aku melempar rangsel ke atas ranjang sesaat setelah membuka lemari.

"Why…coba kasih satu alasan ke gue kenapa lo harus datang?”

“Dia sahabat saya. Artinya, pacarnya dia juga teman saya. Apalagi ini masalah mereka berdua.”

“Bener banget. Masalah mereka berdua! bukan masalah elo! Ceweknya yang cemburu gara-gara cowoknya suka ngomongin cewek lain yang lebih cantik dari dia, bukannya ngomong ke cowoknya malah nangis bombay gitu di telepon.”

“Dia nggak berani ngomong. Takut dikira posesif.”

“Masalah ya dihadapi dong, jangan dipendam. Kalau cuma diemmmmm aja, mana cowoknya bisa ngerti kalo ternyata dia keganggu waktu cowoknya muji cewek lain.”

“Maklum ajalah, anak baru kuliah.”

“Lagian ngapain sih temen lo itu, udah lewat seperempat abad tapi masih macarin anak ABG?”

“Namanya cinta, mana bisa dikontrol, datang ya datang aja. Pergi ya pergi aja.”

“Tapi cinta elo ke dia kok nggak ilang ya? Percuma meski gue udah nyodorin seratus cowok ganteng ke elo, hati lo tetep aja keukeh sama tu cowok.”

“Saya packing dulu.” kataku beranjak.

“Mau dibantu?”

“Nggak usah. Cuma buat sehari ini, cuma bawa baju ganti aja.”


***

Ada kesesakan yang datang begitu saya keluar dari pintu pesawat, ketika kulit saya kembali disengat panas cuaca Jogja, ketika paru-paru saya kembali menghirup udara yang padanya pernah saya titipkan kehidupan juga do’a dan harapan. Entah kenapa. Barangkali Cahaya benar, saya tidak lagi siap datang ke kota ini menemui lelaki yang tanpa sadar sering melukai saya. Ada rasa takut yang tiba-tiba datang, tetapi ada juga rasa kangen yang begitu dalam. Seperti apakah dia sekarang? Berubahkah?

Saya berjalan cepat melewati jalan aspal menuju ruang kedatangan. Karena tidak punya bagasi, saya langsung menuju pintu keluar tanpa harus berurusan dengan petugas pemeriksa yang meski ramah tetapi tetap penuh kecurigaan.

Melewati pintu, mata saya langsung tertubruk ada sesosok yang begitu saya kenal, yang padanya telah saya serahkan hati saya. Seorang sahabat yang seiring waktu membuat saya jatuh cinta sama dia tanpa pernah dia sadari, atau sesungguhnya dia menyadari itu tetapi mendiamkanya sebab dia tidak punya perasaan yang sama seperti saya terhadapnya.

Tidak banyak yang berubah darinya. Rambutnya masih gondrong acak-acakan. Pakaian yang menempel di tubuhnya masih dengan gaya yang serupa, celana jeans dan kaos oblong lusuh dengan sepatu kets usang menempel di kaki. Apakah baunya masih sama? Saya belum tahu. Sudah dua tahun lebih saya tidak bertemu dengannya sejak lulus kuliah. Saya bekerja di Jakarta, dia menetap di Jogja, membuka tempat kursus musik bareng kawan kuliahnya, juga kabarnya tengah mempersiapkan sebuah album etnik kontemporer yang dibiayai oleh Lembaga Indonesia Perancis.

Dia tersenyum. Masih sama seperti dulu, hangat. Memeluk tubuh saya yang langsung tenggelam dalam tubuhnya. 170cm dibanding 163cm. Baunya masih sama, keringat khas lelaki. Hangat tubuhnya juga masih tak berbeda.

“Makin cantik aja kamu.” Katanya melepaskan pelukan dan memandang wajah saya. Sebentar hati saya bahagia atas pujiannya, saya rasakan wajah saya memanas, mungkin merah. Cepat saya menunduk.

“Bawa kendaraan atau kita naik taksi?” Alih saya.

“Aku bawa mobil kawanku.”

Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir. Dia menggenggam tangan saya persis seperti dulu kalau kami sedang jalan berdua. Genggamannya kokoh. Saya merasa begitu aman di dekatnya.
Kami berbicara banyak di dalam mobil menuju hotel saya menginap. Tentang kabar saya, tentang kabarnya, kabar kawan-kawan lama yang juga sudah lama tidak bertemu. Saya tanya kabar pacarnya, katanya baik.

Tapi saya tidak cerita kalau selama ini pacarnya sering kirim sms untuk sekedar tanya tentang dia, apa kesukaannya, apa yang dibencinya, atau yang terakhir soal cemburu sebab sahabat saya ini suka sekali ngomongin cewek cantik yang dikenalnya. Saya juga tidak akan cerita kalau kedatangan saya ke Jogja bukan sekedar berkunjung untuk refreshing seperti yang saya bilang, tapi pacarnya kirim sms kepingin ketemu saya. Minta tolong saya untuk menjelaskan soal kecemburuannya sama cowoknya ini. Waktu saya tanya, kenapa harus saya? Dia jawab sebab saya yang dekat dengan pacarnya, sebab pacarnya selalu memuji saya sebagai seorang sahabat terbaik yang pernah dimilikinya.

Dia meninggalkan saya di penginapan untuk istirahat sebab malamnya kami mau pergi bernostalgia dengan minum teh poci di utara stasiun Tugu, barangkali setelahnya menyusuri Maliboro, menikmatinya waktu malam, waktu kendaraan sepi dan hanya ada penjual gudeg, pengamen, pengemis, dan pasangan bercinta.

Dari penginapan, saya menelepon pacarnya untuk mengabarkan kedatangan saya dan membuat janji bertemu di luar jadwal dengan sahabat saya. Dia mengusulkan besok pagi datang ke hotel saya saat sarapan pagi sebab siangnya saya mau pergi mengunjungi kawan saya yang lain dan sore sudah pulang ke Jakarta.

***

Dua tahun sudah saya meninggalkan kota ini. Tak banyak yang berubah, kecuali saya merasa cuaca Jogja yang semakin panas menyengat dan pelan namun pasti, kota ini berusaha mempercantik diri dengan mencontek Jakarta. Memasang lampu-lampu gemerlap yang membuat malam lebih cantik, bukan hanya fungsi penerangan, tetapi juga keindahan. Tapi saya merasa terganggu dengan bangku beton yang membuat depan benteng Vrederbug tidak selapang dulu. Tidak ada lagi anak-anak punk yang sering nongkrong disana. Saya kenal beberapa dari mereka sebab saya juga sering menghabiskan waktu disana.

Dari penginapan saya di jalan Janti, kami naik taksi sampai perempatan di depan kantor pos pusat. Lalu jalan kaki ke Utara, menuju stasiun Tugu. Panca, sahabat saya sudah minta izin sama Alya, pacarnya, untuk menghabiskan malam ini dengan saya sebab sudah dua tahun nggak ketemu. Tentu saja pacarnya mengizinkan, sebab ini bagian dari rencana kita juga.

Maka, sepanjang perjalanan menuju tempat minum teh poci, diantara obroloan masa lalu, saya selipkan pertanyaan soal pacarnya yang saya belum pernah ketemu dengannya. Tidak mengenal wajahnya. Apakah dia cantik fisiknya atau hatinya yang membuatnya kagum.

Panca sepertinya bukan tipe lelaki yang mengagungkan kecantikan, sebab selama saya mengenalnya, dia tidak hanya pacaran dengan perempuan berparas bak dewi, tetapi ada juga yang punya tampang standar. Saya pernah menghitung berapa cewek yang sudah dikencaninya, lebih dari dua belas selama lima tahun saya mengenalnya. Dari semua ceweknya, maka saya tahu dia bukan pencinta perempuan tampang keren tok. Itu juga yang membikin saya heran sama pengaduan pacarnya yang sekarang. Barangkali pacarnya aja yang emang cemburuan, begitu sempat saya pikir juga.

Tak ada yang salah dengan cemburu asal kadarnya pas dan nggak membikin orang jadi kurang waras dengan melakukan hal-hal yang bisa merugikan diri sendiri. Tak ada yang salah meski ia membakar seluruh tubuhmu, sebab saya merasakannya lebih dari empat tahun. Saya cemburu sama gadis-gadis yang dikenalkan Panca sebagai pacarnya, atau hanya sekedar untuk ditiduri. Tubuh saya rasanya seperti disayat sembilu yang ngilu saat dia dengan cuek menceritakan soal bagaimana dia meniduri gadis-gadisnya. Atau ketika dia ngajak saya pergi ke mall nyari kado untuk pacarnya yang ulang tahun atau ikut euforia valentine. Sakit yang disembunyikan dalam senyum.

Saya cemburu. Tetapi sadar itu bukan salahnya. Itu salah saya sendiri yang mencintainya dan merasa sakit melihat hubungannya dengan gadis lain. Saya yang mencinta, bukan dia. Maka saya yang harus menanggung sakitnya sendiri.

Cerpen Cinta Dalam Hati


Sepanjang jalan, dia kembali menggenggam tangan saya. Kami seperti pasangan yang sedang kasmaran. Kenyataannya, saya yang kasmaran sama dia, tetapi tidak sebaliknya. Saya nikmati sentuhan kulit tangannya yang kasar. Saya resapi sentuhan kulitnya pada kulit tangan saya. Saya simpan dalam memori bau tubuh dan nafasnya, juga bau rambutnya yang apek. Mendadak saya merasa begitu sedih. Saya merasakan sesuatu yang saya inginkan begitu dekat, tetapi tidak pernah bisa saya miliki. Saya merasakan dada saya sesak, tetapi saya tahan kuat-kuat supaya dia tidak membentuk isak, atau tangis. Maka saya menggigit bibir.

“Kok bibirnya digigit?”

Saya hanya menggeleng.

“Jangan dibiasain, ah. Jelek.”

Saya hanya tersenyum. Kami sampai di tempat minum teh Poci. Tempat itu ramai seperti biasa, tak banyak juga yang berubah. Orang-orang yang menikmati suasana malam itu disitu dengan segelas teh masih saja suka membuangi sampahkan di tepi jalan tempat mereka duduk di atas trotoar. Dari segi kebersihan, tempat ini jauh dari kata sehat, tetapi entah kenapa selalu saja dan tetap saja ramai dikunjungi. Termasuk kami waktu-waktu dulu.

Panca memesan dua gelas teh dan Jadah bakar, juga beberapa gorengan.

“Kok pacar kamu nggak diajak?” Tanyanya setelah duduk lagi disampingku.

“Belum punya.” Jawab saya pendek.

“Aku heran deh sama kamu, Ras. Sejak kita kenal enam tahun lalu, kamu kok enggak pernah pacaran sih?”

“Nggak ada cowok yang cocok aja.”

“Memangnya tipe kamu gimana?”

“Nggak ada tipe-tipean. Emang rumah?”

“Terus, jangan-jangan kamu penyuka sesama jenis lagi.”

Saya menampar pundaknya.

“Saya masih normal, om. Jangan curigaan deh sama orang yang nggak pacaran. Masing-masing orang kan punya prinsip yang beda. Lagian namanya cinta kan sesuatu yang nggak bisa ditebak.”
“Tapi seenggaknya pernah naksirlah sama cowok.”

“Pernah. Sekali. Sampai sekarang masih.”

“Siapa?”

Kamu, hati saya berkata. Tetapi mulut saya mengatakan : “Mau tau aja.”

“Terus selama ini kamu simpen aja perasaan kamu sama cowok itu?”

Saya mengangguk.

“Kok nggak diungkapin aja?”

“Saya masih waras. Sampai tahun air lebih mahal dari emas juga kalau’ cewek ngungkapin cintanya ke cowok bakal dikira cewek nggak bener, murahan.”

“Aku enggak. Banyak cewek yang justru nembak aku.”

“Dan kamu manfaatin? Sama aja.”

Dia tertawa. Teh pesanan kami datang. Di beberapa tempat yang juga menjual teh poci, mereka memakai gula batu, bukan gula pasir. Tetapi di tempat ini saya belum tahu mereka memakai gula pasir atau gula batu. Nggak peduli aja, sebab tehnya enak.

“Panca, kamu pernah cemburu nggak?”

Dia menatap saya, barangkali heran dengan pertanyaan yang baru saja saya ajukan.

“Pernah. Kenapa?”

“Kenapa cemburu?”

Dia mengernyitkan dahi, barangkali berpikir, menggali memori sebab dia cemburu, atau barangkali kebingungan dengan pertanyaan saja lagi.

“Cemburu waktu abangku dapat mobil pas kuliah tapi aku enggak.”

Sial, makiku dalam hati.

“Bukan itu. Cemburu sama pacar.”

“Kok nanya gitu sih?”

“Ya nanya aja. Karena kayaknya kamu nggak punya rasa cemburu sama pacar-pacar kamu.”

“Cemburu nggak sehat, ngapain dipelihara.”

“Tapi itu kan normal untuk manusia. Kalo kamu nggak pernah cemburu rasanya abnormal deh.”

“Cemburu pernahlah, cuma aku nggak pernah membikin itu serius. Kalau liat cewekku jalan sama cowok lain, cemburu pasti ada, apalagi dia muji cowok lain di depanku, tapi nggak dipikirin deh. Kalau dia mau pacaran sama cowok itu, aku juga bisa kencan dengan cewek lain. Urusan selesai.”

“Enak bener ya prinsip kamu.”

“Hidup udah susah, ngapain dibikin susah lagi.”

Saya menyeruput teh saya. Hangat. Lalu menggigit sepotong jadah bakar.

“Kayaknya ada yang kurang. Rasanya hambar gitu ya?” Kataku setelah mengunyah Jadah Bakar.
Dia mengambil sepotong dan menggigitnya dan mengiyakan apa yang saya rasa.

Semakin malam, tempat itu bukan semakin sepi, justru semakin padat oleh pengunjung. Sampah bertebaran dimana-mana. Lalu lalang kendaraan yang mencoba mencari tempat parkir atau sekedar lewat.

“Kamu pernah kepikiran untuk serius pacaran nggak, sih? Kok kayaknya masih having fun saja.”

“Masih muda non. Baru dua lima ini. Kalo mau serius kawin, entar dulu ah.”

“Kamu pernah hitung nggak, berapa kali pacaran?”

Dia diam sebentar, barangkali mencoba mengingat berapa cewek yang sudah dipacarinya.

“Lupa.” Jawabnya sambil nyengir.

“Selama kita kenal, ada dua belas cewek yang kamu pacari. Yang sekarang ini ketiga belas.”

“Elo ngitung? Hahahaha. Aku aja enggak.”

Saya hanya tersenyum. Menyeruput lagi teh poci, mencoba menenangkan hati. Membahas soal pacar-pacarnya selalu saja membuat hati saya sakit. Bagaimanapun, saya masih mencintainya.

“Pernah nggak kamu tahu, atau tanya, berapa sakit yang udah kamu ciptakan untuk cewek kamu?”

Dia diam, menatap saya heran.

“Memang ada apa sih?”

“Nggak ada apa-apa, aku cuma nanya aja.”

“Aku nggak tahu. Nggak pernah nanya.”

“Dari tiga belas itu. Barangkali ada yang cuek aja kamu putusin. Ada yang cuek aja waktu kalian masih pacaran lalu kamu kencani cewek lain untuk sekedar one night stand. Ada yang cuek sama gaya hidup kamu. Tapi...” saya menghela nafas, mencoba mengontrol emosi, ”pasti ada salah satu dari mereka yang memuja kamu habis-habisan. Membayangkan sebuah masa depan denganmu. Menjadi ayah dari anak-anaknya. Ada yang cemburu waktu kamu bilang cinta sama dia tapi kamu juga saat yang bersamaan meniduri gadis lain. Apa kamu nggak sadar itu?”

Saya menangkap ekspresi terkejut di wajahnya yang menatap saya.

“Laras...”

“Panca, kamu boleh nggak peduli sama perempuan yang memang hanya mau menikmati tubuh kamu seperti kamu juga cuma mau seks aja. Kamu boleh jadi tipe cowok yang nggak romantis, yang nggak suka mengungkapkan rasa cinta kamu secara berlebihan ke cewek. Kamu bisa cuek kalau orang menuduh kamu playboy cap duren tiga atau apalah. Tapi coba sesekali kamu menghargai orang yang mencintai kamu sungguh-sungguh. Banyak gadis-gadis itu yang begitu.”

“Aku nggak tahu harus ngomong apa. Juga nggak tahu kenapa kamu ngomong begini sama aku.”

“Karena kamu sahabat saya. Saya nggak pengen kamu menyia-nyiakan begitu banyak kesempatan. Saya juga perempuan, tahu gimana rasanya sakit. Gimana rasanya cemburu.”

Dia menunduk. Saya menunduk. Ada perasaan lega setelah mengungkapkan semua.

“Alya cemburu sama kamu.” Kata saya akhirnya.

Dia mendongak cepat menatap saya yang juga menatapnya.

“Dia cerita sama kamu?”

“Dia sering sms sama saya.”

“Tahu dari mana nomer kamu?”

“Katanya lihat di hpmu.”

“Terus, kenapa dia cemburu?”

“Itulah kamu,” saya mendesah. “Gak pernah sensitif sama perasaan perempuan. Dia cemburu karena kamu suka nyeritain cewek cantik yang kamu temuin atau kamu kagumi. Bahkan katanya kamu sering godain cewek di depannya. Kadang-kadang saya mikir kamu nggak waras tau!”

“Kenapa dia nggak bilang?”

“Takut dikira posesif.”

“Oh God.”

“Dia bukan yang pertama.”

“Maksud kamu?”

“Banyak pacarmu yang datang ke saya dan ngadu soal tingkah laku kamu dan minta saya nasehatin kamu.”

“Kenapa kamu nggak ngomong.”

“Saya nggak merasa berhak aja.”

Bohong! tolak hati saya. Sebab saya sakit hati dengan semua pengaduan yang datang. Di depan cewek-cewek itu saya bilang kamu memang cuek. Saya bilang mereka harus sabar menghadapi kamu sambil dengan bahasa halus menghasut supaya mereka putus asa mencintaimu. Dengan begitu kalian bisa putus dan saya senang kalau kamu nggak punya pacar. Saya memang jahat, Panca. Maafkan saya. Makanya saya nggak pernah bilang sama kamu. Hari ini saya mau menebus semuanya.

“Serius apa enggak dengan cewek, harusnya kamu tetap harus jaga perasaan orang. Pacaran itu kan nggak searah. Kita nggak boleh egois dong.”

“Kamu emang sahabat terbaikku.” Katanya menggenggam tanganku.

Malam ini kami habiskan dengan menyusuri jalan-jalan yang pernah kami lalui.

***

Dia masih menggenggam tangan saya, di bangku ruang tunggu bandara ini. Dia bilang sudah memikirkan percakapan soal tadi malam. Bukan percakapan persisnya. Repetan saya soal hubungan dengan gadis-gadisnya.

Ponsel saya berbunyi. Saya melihat nama Alya ada di sana. Saya mengangkatnya dan membawanya ke toilet sebab ruangan itu begitu riuh.

Melalui telepon, gadis itu mengatakan bahwa Panca datang sama dia setelah di pulang dari hotel menemui saya. Katanya, Panca meminta maaf kalau selama ini sering melukainya dengan membuatnya cemburu. Panca berjanji akan berubah. Tone suara gadis itu terdengar ceria, seperti balon gas yang baru saja diterbangkan. Ringan. Hati saya yang meleleh seperti kerupuk yang dimasukkan ke dalam sup panas. Maka saya hanya menggigit bibir. Kebahagiaannya melukai saya. Kebahagiaan yang saya ciptakan untuknya. Seperti menusuk pisau ke jantung sendiri.

Saat akan boarding, Panca memeluk tubuh saya, menenggelamkan kepala saya pada dadanya. Inilah saat yang paling saya suka sekaligus saya benci. Saat yang begitu membahagiakan sekaligus menyayat hati saya. Tetapi tubuh saya barangkali sudah begitu kebal terhadap sakit, sudah terlalu fasih menahan air mata supaya tidak turun hingga dia hanya jatuh ke dalam. Melukai dari dalam.
Hati saya sesak. Dada saya sesak.

Saya segera melepaskan pelukan sebelum saya benar-benar jatuh. Melangkah terburu-buru menuju pintu keluar yang disambut senyum ramah oleh penjaga pintu. Sambil berjalan, saya menelepon Cahaya. Tak ada jawaban.

Saya harusnya sadar dengan apa yang dikatakan Cahaya benar adanya. Saya memang nggak akan kuat terus-terusan menyiksa diri begini. Saya sudah terlalu banyak melukai diri sendiri dengan tetap diam, menyimpan perasaan dalam-dalam. Tetapi, barangkali sakit yang saya ciptakan itu adalah permintaan tubuh yang begitu rapuh ini. Barangkali itulah kebahagiaan saya. Menderita oleh cemburu yang tak akan habis. Menyiksa diri sendiri.

Begitu duduk di dalam pesawat, sebelum saya buat "mode airplane", ponsel saya berbunyi. Cahaya.

“Maaf tadi waktu elo call gue lagi di belakang. HP-nya gue taruh di kamar. Ada apa?” Tanyanya di seberang.

Saya diam, menahan sesak dan sakit yang menggempur hati saya. Serupa seribu sembilu diiris pada tubuh saya.

“Laras?” Suara Cahaya memastikan suara saya.

“Ya?” Jawab saya lemas.

“Kenapa? Ada apa Laras?”

“Ajari aku gimana caranya nangis.”


***

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.