Antara Celana Dalam, Beha, hingga Kondom

Jumat, Februari 14, 2014
Ada yang lucu yang sering saya temui di supermarket. Khususnya kalau sedang melihat-lihat pakaian. Ini yang sering saya temukan dan selalu membuat saya menahan tawa; sepasang kekasih yang mesra, seketika kagok dan berpisah sesaat karena si gadis pergi ke counter Celana Dalam dan BH. Si lelaki sengaja memisahkan diri dan melihat-lihat bagian lain yang tentu saja nggak jauh dari situ sambil diam-diam melirik gadisnya memilih underwear.

Saya sering penasaran, apa yang dipikirkan si lelaki saat itu. Barangkali dia kepingin menemani si gadis memilih CD dan BH yang cocok dan sesuai untuk si gadis sekaligus sesuai dengan selera dia, dan tentu saja yang bisa membangkitkan gairahnya. Atau, saat itu si lelaki ngaceng membayangkan gadisnya berdiri di hadapannya hanya memakai salah satu CD dan BH itu.

Apa salahnya lelaki pergi menemani pacarnya melihat-lihat underwear? Saya pikir nggak ada yang tabu soal itu. Barangkali mereka pikir nggak pantas. Saya pikir pantas. Nggak ada salahnya, toh itu hanya pakaian. Sebuah benda yang menempel di tubuh. Tidak berarti kalau lelaki memegang CD dan BH di supermarket dan memilihkan untuk pacarnya, dia memegang alat kelamin si pacar kan?

CD dan BH yang dipajang itu tentu tidak salah. Sama juga dengan Kondom. Kita yang sakit jiwa. Mereka hanya benda-benda yang membantu kita. Kondom hanya alat pengaman supaya tidak terjangkit penyakit. CD membikin selangkangan kita nyaman. BH membikin payudara perempuan tidak kena kanker.

Lagipula, kenapa lelaki harus malu? Toh kita sering membayangkan isi di balik BH dan CD. Bahkan diam-diam hapal di luar kepala ukuran BH perempuan. 32B sekepalan tangan, 32C satu setengah, 34B lumayan, 34C idola lelaki.

Antara Celana Dalam, Beha, hingga Kondom


Kenapa ukuran begitu penting bagi kita? Lelaki kepingin punya pacar yang payudara dan bokongnya besar. Perempuan (katanya) suka penis yang jumbo. Bahkan kalau mau jadi bintang porno, kedua hal itu yang jadi modal utama; payudara dan pen*s yang besar. Perempuan jangan menyangkal. Nggak usah malu. Buktinya Mak Erot bisa jadi legenda bagi kaum lelaki Indonesia sebagai ahli pembesar kelamin meski kemudian muncul Dokter Boyke yang mempromosikan kalau ‘ukuran’ bukan segalanya. Katanya; seperti main bola, bukan besar bolanya yang penting, tapi gocekannya. Lagilagi, ‘ukuran’ adalah ‘kenikmatan’ tentu saja hanya mitos.

Berapa banyak mitos yang sesungguhnya hanya bikin kita sengsara. Membesarkan penis ke Mak Erot bukan tanpa resiko. Membesarkan payudara dengan menyumpal silikon juga bukan tanpa resiko. Kabarnya bisa menyebabkan kanker.

Beberapa kawan juga sepakat dengan dokter Boyke, bahwa 'ukuran’ bukan segalanya. Tapi dasar saya yang nyinyir langsung bilang ‘karena punya lu kecil, makanya setuju’.

Kawan, punya kamu besar atau kecil? Ha..ha...ha...

Kembali ke masalah kata "kondom" tadi, di lain waktu, saya menyebut kata itu di hadapan kawan-kawan saya di kantin kampus (waktu masih kuliah), respon mereka negatif semua, mendengus, ada yang bilang ‘saru’ seolah saya baru saja mengatakan kata lain bersenggama dengan awalan ‘N’ dan akhiran ‘T’.

Apa yang salah dengan kondom? Saya bingung, padahal dia hanya sebuah alat kontrasepsi. Ketika saya menyebut kata itu seolah saya sedang telanjang dan mempraktekkan bagaimana cara memakai kondom di depan mereka sehingga mereka menganggap kata kondom itu sebagai sesuatu yang negatif. Alangkah aneh. Tetapi itu bukan hanya terjadi pada kawan-kawan saya saja. Barangkali sebagian besar masyarakat Indonesia akan merespon begitu.

Bukan kondom yang salah kawan, tapi otak kita yang mendengarkan kata itu lalu mengolahnya menjadi hal tabu. Adakah yang salah dengan Kondom? Saya kira nggak. Otak kitalah yang salah, merespon kata itu dengan cara yang salah. Kondom, ketika kita mendengar, tidak direspon sebagai alat kontrasepsi oleh otak kita, melainkan sebagai persenggamaan. Padahal Kondom sudah berbaik hati membantu supaya yang melakukan hubungan menjadi tidak terkena HIV.

Kalau banyak kaum intelek yang mempermasalahkan iklan Kondom dan kampanye pemakaian Kondom dilarang, saya bisa memahaminya, sebab bagi sebagian besar kita masih punya persepsi negatif tentang kondom. Tetapi saya juga bisa mengerti kalau ‘para penjaga moral’ (mengambil kalimat Ayu Utami di sebuah essay-nya) itu memprotes kampanye penggunaan kondom untuk safety di diskotik dan lokalisasi. Bagi mereka bukan lagi persoalan Kondom dengan persepsi negatif, tetapi kampanye itu seolah legalitas free marital. Seolah bilang ; boleh ng****t tapi pakai kondom biar aman, bukan cuma dari kehamilan, tetapi penyakit.

Sama dengan perdebatan tentang korelasi antara cara berpakaian perempuan dengan tingkat perkosaan. Banyak yang bilang, perempuan diperkosa karena pakaian mereka ‘mengundang’ untuk diperkosa. Lainnya menyangkal itu. Mereka bilang ; dasar laki-lakinya saja yang gatal, lalu mencari dalih bahwa perempuan berjilbab-pun bisa diperkosa.

Bagi saya, nggak ada yang benar dan salah dalam hal ini. Bisa jadi duaduanya benar sekaligus salah. Misalnya kita suruh dua perempuan lewat di depan segerombolan lelaki berahi. Yang satu pakai Jilbab, yang satu berbaju super seksi. Coba tebak, mana yang paling memungkinkan diperkosa?

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.