Ijinkan Aku Bercerita ; Sebuah Surat Cinta
Ijinkan aku bercerita, tentang perasaan-perasaan yang dipaksa diam. Katakanlah tentang bagaimana tubuh padam seperti matahari yang lisut di balik ombak ketika melihatmu, hanya melihatmu, melihat wajah bulanmu bersinar pada hari yang begitu terang, sebab bagaimana mungkin aku bisa menahan hasrat untuk tidak melihatnya, meski diam-diam, mengintip dari balik dedauan, bahu kawan, juga lirikan. Hanya hasrat yang terus dipaksa bungkam.
Bisakah kamu membayangkan apa yang sedang kurasakan? Bagaimana aku hanya bisa membayangkan menyentuh jejarimu, menyentuh alismu yang berbaris rapi, mengusap rambutmu yang hitam tergerai di kening, di kuping, sebab aku tidak akan pernah bisa menyentuhnya dengan perasaan yang berbeda selain sebagai seorang kawan. Bagaimana mungkin bisa menyentuh hatimu?
Telah kuciptakan banyak puisi untukmu, untuk meluluhkan hatimu, berharap kamu menoleh dan melihatku sejenak di ujung hari yang kian tua ini, sekedar menikmati sore yang sebentar lagi malam, mungkin juga hujan yang membawa titik-titik air membasuh permukaan bumi. Telah kuciptakan banyak puisi untukmu. Hanya untukmu, tentang bagaimana aku mengagumimu, bagaimana aku mengenangkan matamu, bagaimana caramu tertawa, bicara, tersenyum.
Aku akan tetap mencintaimu sampai tanganku tak mampu menulis lagi, sampai mataku tak bisa terbuka lagi, sampai nafasku tak berhembus lagi, sampai jantungku tak berdenyut lagi, sampai kata-kata telah habis kutulis menjadi bait puisi yang menceritakan tentangmu, hanya tentangmu, juga tentang perasaanku padamu.
Kalau Pablo Neruda menulis ‘puisi paling sedih’ untuk mengenang kekasihnya, maka aku akan menulis puisi yang lebih sedih lagi, misalnya tentang hatiku yang terus menjerit melihat tubuhmu seperti ombak biru yang menghempas pantai dan karang dan udara. Juga perahu nelayan yang mencoba menepi, juga perahuku yang terus terombang-ambing kehilangan arah.
Kalau hari memang tidak pernah berpihak padaku, tak apa, sebab ketika akhirnya kapalku karam di sebuah negeri yang belum bernama, aku akan terus mencintaimu seperti angin yang terus membelai wajahmu, udara yang memberimu kehidupan. Aku akan menanami seribu jenis bunga di sebuah taman, juga seribu puisi, tempat mematrikan kenanganku tentangmu.
Maka ijinkan aku bercerita sekali lagi, sebelum kamu pergi dengan pengantinmu, dan merenggut nafas dari paru-paruku.
Bisakah kamu membayangkan apa yang sedang kurasakan? Bagaimana aku hanya bisa membayangkan menyentuh jejarimu, menyentuh alismu yang berbaris rapi, mengusap rambutmu yang hitam tergerai di kening, di kuping, sebab aku tidak akan pernah bisa menyentuhnya dengan perasaan yang berbeda selain sebagai seorang kawan. Bagaimana mungkin bisa menyentuh hatimu?
Telah kuciptakan banyak puisi untukmu, untuk meluluhkan hatimu, berharap kamu menoleh dan melihatku sejenak di ujung hari yang kian tua ini, sekedar menikmati sore yang sebentar lagi malam, mungkin juga hujan yang membawa titik-titik air membasuh permukaan bumi. Telah kuciptakan banyak puisi untukmu. Hanya untukmu, tentang bagaimana aku mengagumimu, bagaimana aku mengenangkan matamu, bagaimana caramu tertawa, bicara, tersenyum.
Aku akan tetap mencintaimu sampai tanganku tak mampu menulis lagi, sampai mataku tak bisa terbuka lagi, sampai nafasku tak berhembus lagi, sampai jantungku tak berdenyut lagi, sampai kata-kata telah habis kutulis menjadi bait puisi yang menceritakan tentangmu, hanya tentangmu, juga tentang perasaanku padamu.
Kalau Pablo Neruda menulis ‘puisi paling sedih’ untuk mengenang kekasihnya, maka aku akan menulis puisi yang lebih sedih lagi, misalnya tentang hatiku yang terus menjerit melihat tubuhmu seperti ombak biru yang menghempas pantai dan karang dan udara. Juga perahu nelayan yang mencoba menepi, juga perahuku yang terus terombang-ambing kehilangan arah.
Kalau hari memang tidak pernah berpihak padaku, tak apa, sebab ketika akhirnya kapalku karam di sebuah negeri yang belum bernama, aku akan terus mencintaimu seperti angin yang terus membelai wajahmu, udara yang memberimu kehidupan. Aku akan menanami seribu jenis bunga di sebuah taman, juga seribu puisi, tempat mematrikan kenanganku tentangmu.
Maka ijinkan aku bercerita sekali lagi, sebelum kamu pergi dengan pengantinmu, dan merenggut nafas dari paru-paruku.
Tidak ada komentar: