Salahkah Lelaki Memakai Payung?

Rabu, Februari 05, 2014
alisakit.com - Jawab dengan cepat, apa yang ada di pikiran kamu ketika melihat lelaki pakai atau bawa payung? Kalau jawaban kamu : ah, biasa aja. Ok nggak perlu baca paragraf selanjutnya. Tetapi kalau dalam benak kamu isinya : ih, ganjen amat sih kayak banci aja, maka mari hening sejenak dan diskusi bersama saya.

Kata seorang mbak yang baru saya kenal, saya cowok yang aneh, lain dari biasa karena tidak macho. Contohnya ya tentang lelaki dan payung ini. Tetapi ini bukan soal macho atau tidak, cuma sesuatu yang bagi saya sangat mengganggu sehubungan dengan ‘imej’ dan mitos.

Back to topic, kalau kamu menjawab itu cowok keganjengan, saya bertanya lagi : Kenapa?

Salahkah Lelaki Memakai Payung?


Adakah yang salah dengan seorang lelaki membawa payung? Bagi saya tidak. Payung – sekali lagi saya analogikan dengan hal ini – bukan pembalut kalau perempuan haid yang tentu saja produk yang diciptakan untuk perempuan. Tetapi kenapa kita sering menganggap lelaki yang membawa payung kecentilan kayak perempuan. Padahal fungsi payung kan melindungi orang dari air hujan. Lelaki butuh, bukan cuma perempuan. Memangnya kalau hujan terus lelaki nggak basah kuyup kalau kena air hujan?

Saya sering mengalami ejekan semacam ini. Misalnya waktu masih aktif di Komunitas Pecinta Alam. Kalau terjun ke lapangan, saya lebih suka bawa payung daripada pakai rain coat, sebab rain coat membuat baju kita lembab, selain itu saya merasa nggak nyaman aja, alasan terakhir tentu saja karena harganya mahal yang membuat saya mikir-mikir membelinya. Payung adalah alternatif terbaik dan termurah. Kalaupun basah, hanya bagian lutut ke bawah, itu bisa ditanggulangi dengan memakai celana pendek.

Pernah ketika awal ikut kegiatan Susur Pantai, saya membawa payung sebagai pelindung dari panas dan tentu saja hujan. Pesisir pantai Utara sebagaimana di pesisir pantai manapun tentu saja panas terik. Bukan soal takut hitam atau kecentilan maka saya membawa payung, tetapi saya nggak mampu membeli sun-block yang harganya bikin pendarahan dompet mahasiswa. Cara mudah dan murah tentu saja dengan membawa payung. Selain itu, cara mudah juga menghindari dehidrasi, sebab nggak ada supermarket di pesisir pantai. Air tawar serupa barang langka.

Tetapi demi kemudahan itu, saya harus membayar dengan ditertawakan, diejek sok centil. Awalnya saya rendah diri juga, maklum anak baru. Tahun berikutnya saya cuek aja, malah banyak cowok-cowok yang ikut bawa payung. Yang membikin sebal lagi adalah waktu hujan, si pengejek tadi sibuk cari tumpangan sama orang yang bawa payung. Suck!

Soal hunting payung juga saya disadarkan sama satu hal, kenapa payung identik dengan perempuan, karena rata-rata motif payung adalah; Kembang-kembang. Tentu saja ada yang hitam polos, tapi yang pegangan dan batangnya tidak bisa dilipat hingga gampang ditaruh di tas. Saya nggak mungkin bawa payung sepanjang itu seperti mau ke pemakaman saja. Maka saya butuh tiga minggu untuk menemukan payung yang pas sesuai selera dan budget saya.

Barangkali saya harus protes sama pabrik payung, kenapa bikin motif yang sangat feminim. Pelecehan terhadap laki-laki tuh. Saya mau lapor ah, sama pemerintah. Tapi sayang, nggak ada menteri urusan laki-laki. Yang ada menteri urusan perempuan. Jadi saya lapor di sini saja ya.

Maka, jangan tertawakan lelaki yang bawa payung.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.