Lelaki Masa Lalu ; Cerpen Tentang Perselingkuhan

Rabu, Mei 09, 2018
alisakit.com - Saya kangen menulis cerpen lagi. Sayangnya belum bsia membuahkan satu cerpenpun. Tak apalah, saya mau coba posting cerpen lama saya yang semoga masih sesuai dengan jaman sekarang yang serba sosial media.

Cerpen tentang lelaki masa lalu ini sebenarnya sudah saya tulis sejak tahun 2011 lalu, tapi memang proses penggarapannya ogah-ogahan. Cerpen ini bercerita tentang seorang wanita yang mencintai laki-laki dan hingga laki-laki itu memiliki istri, cintanya tak pernah pudar sedikitpun.

Cerpen tentang tak bisa melupakan mantan, mungkin ini yang tepat kalau kata anak jaman sekarang. Bisa dibilang juga ini adalah cerpen tentang selingkuh karena tokoh didalamnya merupakan tokoh yang sudah  berkeluarga. Silakan menikmati bacaan cerpen kali ini :

Lelaki Masa Lalu

Oleh : Wirasatriaji

Senja perlahan memasuki gerbang malam. Menjanjikan lentera diantara kelamnya bagi jiwa-jiwa pemimpi. Seorang wanita muda berdiri di sebuah halte. Ingin menumpahkan airmata, sulit terasa. Seakan kering. Hanya sesekali mengusap kening anak lelaki yang terlelap dalam dekapannya karena lelah seharian menemaninya menyusuri kota.

Kembali wanita itu melirik jam di pergelangan. Jam tangan tua murahan hadiah lelaki yang pernah menidurinya dan katanya mencintainya. Sudah lebih dari sejam ia menunggu lelaki itu. Mahmud, lelaki masa silam yang sekarang sudah beristri orang. Dipandanginya anak lelaki dalam dekapan. Mengusap kembali keringat yang membanjir di kening buah hatinya. Ini nafasku, bisik lirih hatinya.

Dalam angannya tergambar betapa penderitaan telah dia rasakan. Ketika harus terusir dari keluarga dan melahirkan bayi tanpa suami. Beruntung bu Karti, seorang janda tua yang tinggal di belakang pabrik teh ujung jalan itu mau menampungnya. Kala itu hujan deras mengetuk nurani bu Karti untuk menolong wanita hamil yang berteduh di pojok pagar pabrik. Hingga sekarang, Siti masih bersamanya. Menganggap wanita tua itu adalah ibunya, begitu juga sebaliknya.

Cerpen Tentang Perselingkuhan


Senja yang benar-benar lenyap menyambut sebuah mobil sedan hitam yang mengkilap menepi tak jauh dari halte. Untuk keempat kalinya menjanjikan pertemuan, baru kali ini Mahmud menepatinya. Dan tentu dengan keterlambatan. Siti menghampirinya dengan tergesa-gesa untuk kemudian masuk ke dalam mobil.

Malam masih muda memayungi mobil yang melaju perlahan. Membawa wanita muda yang terduduk manis di kursi depan. Tatapnya masih dipenuhi kepahitan.

"Sudah kau batalkan keberangkatanmu jadi TKW, Ti?" tanya mahmud, lelaki berparas penuh wibawa di belakang kemudi.

"Aku masih ragu mas, aku takut melakukan kesalahan lagi. Ini demi masa depan Wahyu. Lagipula, mumpung dapat penempatan di Malaysia, " jawab lirih Siti.

"Kesalahan yang bagaimana maksud kamu? Kan aku sudah bilang, kalau masalah uang jangan kuatirkan. Semua biaya hidup kalian dan sekolah Wahyu biar aku yang akan menanggung. Kamu..." nada Mahmud meninggi.

“Jangan mas! aku tidak mau merusak rumah tangga orang,” potong Siti.

"Tolonglah Ti, beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku tahu aku salah."

"Tidak ada yang perlu diperbaiki, mas. Sekarang aku sudah cukup puas kok, melihat Wahyu bertemu bapaknya."

Sejenak keheningan menyeruak diantara alunan musik Jazz dari tape mobil.

"Ti, biarkan Wahyu kuadopsi."

Siti tergelak, "jangan gila kamu mas!"

"Istriku mandul, Ti" desah lirih Mahmud.

"Itu bukan urusanku," Siti menjawab dengan dingin.

"Maafkan aku, Ti. Selama ini belum bisa menghubungi atau mengangkat teleponmu. Istriku sekarang sering ke kantorku."

Siti memaku, memberi peluang lebih dalam pada diam. Buah hatinya tetap lelap dalam dekapnya.
Keduanya terdiam sampai mobil yang mereka tumpangi memasuki parkiran sebuah penginapan.

"Mau apa kita kesini, mas?" tanya Siti sepertinya tak hendak turun saat mobil telah terparkir.

"Ayolah, kita perlu bicara, Ti. Supaya masalah ini cepat selesai. Di sini lebih tenang. Kuharap kita bisa berpikiran jernih menghadapi ini."

Mahmud keluar dari mobil diikuti Siti. Mereka berjalan bersisian menuju lobby hotel.

***

Siti mematung di tepi Sping Bed bercorak kembang sepatu. Tatapnya kosong ke arah luar jendela, memandangi kedip bintang yang tak sempurna sinarnya. Mahmud baru saja keluar dari kamar mandi dengan terbalut lilitan handuk.

"Kamu nggak mandi?" tanya Mahmud.

Wanita itu tetap diam tak bergeming.

"Siti..."  Mahmud mendekat dan memegang punggung perempuan itu, "tolong jangan bikin semuanya jadi lebih sulit dengan diammu” lanjutnya.

Siti menoleh, "mungkin mas bisa berpikir untuk merubah sesuatu dengan gampang sesuai kehendak, tapi mas tidak pernah tahu apa yang sudah kuperjuangkan untuk hidup."

"Justru karena itu aku ingin menebusnya sekarang," potong Mahmud.

"Dengan mengadopsi Wahyu? merebut apa yang sudah kuperjuangkan? Atau dengan cara menghidupi kami secara ilegal? Tidak, mas. Aku tetap akan ke luar negeri.”

“Jangan keras kepala kamu Ti!” bentak Mahmud.

“Jika aku tidak keras keras kepala, Wahyu tidak akan pernah ada mas...!” suara Siti ikut meninggi.

"Kalau mas menginginkan Wahyu, mas harus mengawiniku secara resmi. Menikah! Dan aku bersedia batal berangkat ke Malaysia," lanjutnya dengan tertunduk.

"Kamu gila, Ti, itu nggak mungkin."

"Meskipun miskin, tapi aku masih boleh punya harga diri kan, mas? aku nggak ingin nanti anakku bertanya-tanya, Ibu dapat uang dari mana? Biaya sekolah dari mana? Jadi biarkan aku hidup sesuai kehendakku. Karena, setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi, mas. Aku datang hanya mengantarkan Wahyu melihat bapaknya. Itu saja."

Mahmud terdiam. Hening seketika mengepung dua insan.

"Baik, aku akan menikahimu kalau itu yang kamu inginkan, kalau itu bisa membuatmu tetap tinggal disini."

Seketika perempuan itu menoleh dengan kaget. Dia sama sekali tidak menyangka Mahmud akan bicara seperti itu.

“Mas! itu tidak mudah,” Siti berkomentar.

"Mungkin dengan menikahimu, aku bisa menebus kesalahan masa laluku. Sudah, kamu mandi sana," pinta Mahmud.

Siti bergegas menuju kamar mandi. Mahmud terdiam, menyandarkan punggungnya di kursi, menatap langit-langit. Meremas-remas rambutnya sendiri.

***

Tetapi malam tetaplah malam. Ia menyimpan sejuta syahwat manusia. Siti duduk di pinggir tempat tidur sambil menonton TV usai mereka makan malam. Mahmud mendekati perempuan itu dan mendekapnya dari belakang. Mengecup ubun-ubunnya. Siti mencoba melepaskan pelukan laki-laki yang masih ia hafal bau tubuhnya. Siti sedikit gemetar, mengenang bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang dicintainya. Dan Mahmud semakin mempererat pelukannya. Mulai mencium leher perempuan itu, membuatnya menggelinjang pelan.

"Mas, jangan..." desah Siti.

Lelaki itu sepertinya sudah dibakar birahi. Dengan sedikit kasar, Mahmud membalikkan tubuh perempuan itu dan mulai mencumbunya habis-habisan. Siti mencoba berontak, antara sebuah kerinduan dan ketakutan. Ia resah, bagaimanapun lelaki itu sudah beristri. Namun akhirnya ia pasrah.

***

"Pikirkan lagi, nduk. Sebelum kamu putuskan untuk membatalkan keberangkatanmu ke Malaysia itu, sebelum nantinya kamu menyesal," saran bu Karti ketika Siti bercerita tenang rencananya.
Suara TV dan radio tetangga terdengar mengalun di sela-sela rumah. Wahyu telah lelap dalam buaian perempuan tua itu.

"Apa lagi yang harus dipikirkan, bu? Mas Mahmud sudah berjanji kok."

"Huh, laki-laki itu..." keluh bu Karti sambil membawa Wahyu masuk ke dalam kamar, membaringkannya dan kembali ke ruang depan menemui Siti. "Apa yang kamu harapkan dari dia? menikahi kamu? Dia sudah beristri. Bukan hal mudah lho mau cerai dan menikahi kamu. Apa ndak kamu pikirkan masa depan Wahyu?"

"Tapi mas Mahmud sudah janji, bu," kembali Siti meyakinkan bu Karti, juga meyakinkan pada dirinya yang sesungguhnya masih ada setangkup keraguan.

"Apa dia dulu juga janji mau menikahi kamu?" tanya wanita tua dengan kerutan di dahi itu.

Siti terdiam. Hatinya tumbuh kebimbangan. Antara harus percaya Mahmud, juga mulai mempertimbangkan apa yang dikatakan bu Karti.

"Katanya dia mau menebus kesalahannya yang dulu, bu. Mas Mahmud juga sudah menunjukkan niat baiknya. Aku ingin mencoba memberi kesempatan, bu.”

"Ya sudah... tapi kamu harus siap atas segala resikonya. Bukan maksud ibu mau nakut-nakutin kamu." nasehat bu Karti.

"Nggih, bu." Siti tersenyum.

***

Seminggu telah berlalu, Siti melangkah menuju sebuah Wartel. Mencoba menghubungi nomor telepon kantor Mahmud, tapi nihil. Hanya alasan beraneka yang didapat dari pegawai yang mengangkat teleponnya. Sudah tiga kali Siti meletakkan gagang telpon di wartel itu dengan gundah, namun ia masih saja mengulang nomor yang sama.

Seminggu, dua minggu, hingga sebulan telah berlalu. Tak pernah sekalipun Siti absen mencoba menghubungi laki-laki yang berjanji padanya. Waktu seakan melangkah lebih cepat. Namun Siti belum juga berhasil berbicara dengan Mahmud. Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi hanya alasan dari penerima telepon yang berarti Mahmud tak mau bicara dengannya.

Tiga bulan terlewat, dan Siti belum menyerah. Dengan sisa-sisa harapan, kembali perempuan itu menghubungi nomor yang setiap harinya tak pernah terlewat itu. Untuk kali ini, entah mimpi apa Siti semalam, Mahmud mengangkat telepon untuknya.

"Mas? jawab dong mas .... ya? .... dimana? .... Jam berapa? .... Oke, aku tunggu mas," suara Siti antusias menggaung dalam bilik Wartel.

***

Siti duduk dengan gelisah di bangku Halte biasa. Halte yang selalu menjadi tempat menunggu lelaki masa lalunya. Berulang kali melirik jam tangan murahan yang dihadiahkan Mahmud waktu dia masih jadi mahasiswa. Lalu lalang kendaraan semakin membuat pikirannya gelisah. Mata perempuan itu semakin jalang menjalari jalan raya di depannya, mengharap mobil yang ditunggunya segera menampakkan pandangnya. Sudah setengah jam lewat dari waktu yang ditentukan, Mahmud belum juga muncul untuk menjemputnya.

Seperempat jam kemudian, seorang anak kecil menghampiri Siti dan memberikan sebuah amplop berwarna putih. Dari seorang lelaki dalam mobil, katanya, dan dia diberi uang sepuluh ribu untuk mengantarkan surat itu kepada Siti. Sebelum Siti sempat bertanya, anak kecil itu sudah berlari menyeberang jalan.

Siti mencoba menenangkan perasaannya yang sibuk menebak-nebak apa isi surat tersebut. Apa yang terjadi? desah hatinya. Perlahan ia membuka lipatan surat itu,

Untuk Siti Cahyaningrum,

Siti, sebelumnya maafkan aku yang tidak bisa menepati janji-janjiku sama kamu dan Wahyu. Aku tidak pernah bermaksud membohongimu. Tidak ada sedikitpun maksud itu. Aku tetap mencintaimu sebagaimana dulu, dan kuharap kaupercaya. Aku mencintai Wahyu sebagaimana anakku. Tapi aku sama sekali tidak punya kuasa untuk meninggalkan istriku. Aku berhutang terlalu banyak sama dia dan keluarganya, Ti. Hutang budi karena telah menyelamatkan keluargaku saat-saat jatuh. Jangan tanyakan apakah aku mencintai Istriku, ini hanya sebuah kewajiban untuk membalas budi baik mereka.

Siti, sekali lagi maafkan aku, kuharap kamu mau mengerti. Istriku sudah mengetahui hubungan kita. Dia punya orang-orang suruhan dimana-mana untuk memata-mataiku. Dia tahu kita pernah bertemu di hotel itu. Dia langsung mengultimatumku, Ti.

Untuk sementara ini aku dipindahkan ke Perusahaan di Jakarta. Kami akan pindah dalam minggu ini. Maafkan aku karena telah mengecewakanmu. Aku tak punya kuasa apa-apa dalam hal ini.
Sampaikan salamku untuk Wahyu. Kalau keadaan sudah membaik, aku usahakan kirim uang ke kamu. Maafkan sekali lagi karena aku kamu telah membatalkan kepergianmu ke Malaysia.
Dari orang yang selalu mencintaimu,

Mahmud

Air mata mengalir pelan, terisak di dadanya. Sakit, namun tak terlihat luka.  Jantung terasa terlepas, hatinya terbakar dan jiwapun menggelepar meratapi perih. Surat dalam genggaman Siti, terjatuh bersama lembaran lain yang sejak tadi dibawanya dari rumah. Secarik kertas terhempas angin lalu masuk dalam kubangan. Selembar surat berkop nama sebuah Klinik Kesehatan. Di bawahnya tertulis nama Siti Cahyaningrum, dengan keterangan positif  hamil.

Mau lanjut baca cerpen? bisa coba baca Cerpen tentang mencintai Sahabat.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.