Abnormalitas Schizophrenia ; Cerpen tentang Sastra Masa Kini

Senin, Desember 07, 2015
Salam, inilah cerpen yang lahir karena realitas masa kini. Mulai dari realitas pemuda, perkembangan karya sastra, hingga realita kapitalisme. Dan inilah bentuk idealisme saya yang saya tuangkan dalam bentuk Cerita Pendek.

Cerpen tentang Sastra 


 Abnormalitas Schizophrenia

Jelaga telah membekukan kelam malam, namun kantuk masih enggan bersahabat. Aku terkapar dalam kegelisahan yang tersaji di sudut kamar. Malam yang gerah perlahan membawa pikiran dalam persetubuhan otak yang tak pernah klimaks. Menghidangkan kegamangan atas kehidupan yang telah kutempuh lebih dari seperempat abad. Lima tahun kerja lima ribu perak kini terselip di dompet. Kuliah yang tidak kelar, hanya beberapa semester lalu memilih kerja. Menikah? motor butut saja kurang lima kali angsuran. Mamakku sudah cerewet minta menantu. Ah, mengapa waktu melenggang tanpa menungguku yang belum sempat kaya? pertanyaan yang membujuk impuls saraf untuk menegang.

Tiba-tiba pikiran ganjil bin aneh menusuk-nusuk tempurung kepala. Aku berteriak keras, sakit tak tertahan di sela sekat kepala. Urat-urat menegang mengejang. Tiba-tiba muncul sebuah bayang. Sebuah kepala bertubuh aneh kini tersenyum di hadapanku. Hanya berjarak beberapa inchi dari wajahku, hingga tercium busuk bau mulutnya. Untuk sesaat seluruh rangkaian kosmos berhenti. Aku bangkit dan membenturkan kepala pada jendela. Berharap ini hanya ilusi. Hingga benturan paling keras, dia justru terbahak. Wuah, inikah tanda-tanda kegilaan?

 Cerpen tentang Sastra


“Manusia bodoh.” Tiba-tiba suara membuatku terhentak.

“Sss..siapa lu?” tanyaku terbata-bata mengakhiri benturan.

“Benar-benar bodoh, gue itu elu. Tolol banget jadi orang!” bentaknya.

Aku tergelak, ” Dari mana lu muncul?”

“Gue lahir dari perselingkuhan pikiran tolol dengan beban hidup yang lu tanggung. Ketika bulan padam dan laut diam,” jelasnya.

What?aneh, tapi sedikit ketakutan berkurang melihat tampangnya serupa rontokan kemoceng.

“Sok puitis lu,” komentarku mulai rileks.

“Gue kan elu, berarti elu dong yang sok.” Makhluk itu kembali tertawa.

“Lalu apa tujuan elu tercipta?” heranku berkalung tanya.

“Menemani seorang bujang lapuk yang tak laku-laku menghadapi lika-liku hidup. Laki-laki yang pura-pura selalu terlihat ceria, tapi sebenarnya rapuh. Dengan adanya gue siapa tahu ketololannya bisa sembuh.” Mata merahnya terpancar kedamaian. Kedamaian yang entah seketika kurasakan teduh.

“Memangnya gue tolol gitu?” aku mengerutkan dahi.

“Enggak, tapi goblok!”

“Gue nggak ngerasa,” jawabku seraya melipat tangan di dada.

“Nah, itu juga salah satu ketololan elu. Sebuah ketololan yang tak pernah berkesudahan.” Dia tertawa lagi.

“Dialog lu udah kayak film indonesia aja.”

“Emang kenapa?”

“Sumpah, bikin gue mual.” ketusku.

“Emang kenapa?”

“Emang kenapa, emang kenapa? Sekali lagi nanya gitu gue sunat bibir lu. Gue bosen aja sama bombastis film indonesia yang suka latah. Sekarang lagi musimnya cinta-cintaan bernafaskan agama. Sejak suksesnya film ‘Ayat-Ayat Cinta’ belakangnya pada ngekor. Ada kerudung cinta, tasbih cinta, tahmid cinta, mukena cinta. Jangan-jangan entar muncul sarung-sarung cinta, haa..ha.. Eh, ada lagi yang unik, sekarang ada lima madzhab. Satunya madzhab cinta. Ha..ha..ha..”

“Mending sinetron dong ya?” komentarnya.

“Semua sama saja. Latah semua. Dari mulai inayatun, hidayatun, solehatun, mar’atun, sampai toyibatun. Ngakunya sinetron religi, tapi masih aja ada tayangan cewek nggak nutup aurat. Pengajian cewek cowok nyampur, zina mata tuh. Mendingan sekalian nonton tersanjung atau cinta fitri yang sekuelnya tujuh turunan”jawabku sekenanya.

“Emang kenapa? ups.. Ma’af bos khilaf. Ah sok suci lu. Jangan suka protes. Lu aja belum tentu bisa bikin film kayak gitu.”

“Hello… Jangan jadi orang udik[1] lu. Memangnya nggak boleh berkomentar kalau bukan anak cinematographi atau broadcast? Karya yang sudah dilepas ke pasar itu milik publik. Jadi sah-sah saja siapapun berkomentar. Kalau nggak mau dikritik ya angkremin aja di bawah pantat.”

“Jangan sentimentil gitu dong. Santai saja. Anak muda itu nggak usah mikir berat-berat. Bergaul, mencari hiburan. Gaul dong!”

“Gaul? Gue udah capek ngeliat anak muda yang ngaku gaul jaman sekarang. Hanya karena trend mereka jadi kehilangan identitas. Mengadopsi produk-produk massal luar negeri yang membodohi bangsa yang sudah bodoh”

“Kalau kehilangan identitas mah gampang. Tinggal ngurus ke tempat pak Lurah. Ha.. Ha..”

“Yang goblok itu gue apa elu sich?”

“Oke-oke lanjut bos.”

“Sumpah gue mau muntah ngeliat dandanan anak muda jaman sekarang. Bergaya tapi nggak tau maksud dan tujuannya. Model rambut polem[2] dengan celana kecil ke bawah. Ngakunya emo. Pas ditanya apa itu emo jawabnya ‘nama wallpaper’. Ada lagi, kemarin pas konser grup band Wali. Yang dateng dandanannya serba punk. Rambut menantang langit, pake kalung rantai kapal pesiar, celana jeans belel plus jaket ngepres dengan tulisan ‘anti sosial’. Pas Wali bawain lagu ‘bukan bang toyib’, busyet dah pada ngejingrak semua. Pada hafal liriknya di luar kepala, bahkan sampai teriak-teriak nyanyi di bibir panggung”

“Lah, emangnya lu punya identitas?”

“Setidaknya gue nggak ngikut apa yang gue nggak tahu cuma karena biar di bilang trendy. Sebenarnya kita nggak perlu memaksakan kehendak jika kita yakin dengan filsafat dan prinsip yang kita pegang dan nggak mudah terpengaruh apa kata mereka “

“Pantesan nggak laku, nggak gaul sih lu!”

“Kalau gaul model gitu bikin kaya, gue bakal jadi orang pertama yang gaul.”

“Makanya kerja yang bener biar kaya. Lu setengah-setengah sih. Tentuin dong lu pengen disebut apa. Fokus.. Fokus.. Man”

“Katanya elu itu gue. Harusnya lu tau dong gue pengennya orang nyebut gue apa?”

“Hehhhh… Gue ludahin juga lu lama-lama. Ditanya malah balik nanya.” kesalnya.

“Penulis aja lah. Kenapa?” jawabku mengangkat dagu.

“Bhahaha… Emang buku apa yang udah lu terbitin?”

“Apa seseorang harus menerbitkan buku dulu baru disebut penulis?gue punya banyak teman cyber yang nulis puisi, cerpen, prosa, juga essay dengan bagus. Tapi jarang karya mereka diterbitkan. Apa mereka juga tidak layak disebut penulis?”

“Orang kan butuh pengakuan publik atas karyanya.”

“Enggak bisakah kita menyebut diri sesuai keinginan kita? kenapa kita harus tunduk pada kemauan orang, pada norma yang kadang tidak relevan dengan kondisi. Jangan men-judge sesuatu dari penglihatan saja.”

“Wadezig… Sok banget lagu lu ! Kesan pertama itu terlihat dari bungkus luar. Inget kan sama omongan mamak lu, ‘Ajining rogo gumantung soko busono, ajining diri soko lati‘[3].”

“Elu tahu, pas kemarin gue dateng ke acara di sebuah Hotel. Penyanyi disana begitu dihormati pengunjung. Dan gue sempet ngobrol dengannya, ternyata dia jadi penyanyi buat biaya sekolah empat adiknya. Di hotel dia begitu disegani karena dia berwibawa. Padahal cuman lulusan Tsanawiyah. Tapi konsekuensinya di masyarakat dia dicap jelek. Masyarakat memberikan label atas sesuatu yang nggak mereka tahu. Menentukan benar atau salah atas pemikiran yang dangkal. Kadang gue muak hidup dimasyarakat model gitu. Beras murah kalah laku sama gosip. Ha..ha..”

“Toweweng… Emang lu mau hidup di hutan?”

” Yah, tidak bisa tidak. Seorang apatis harus memilih; berkubang dalam lumpur kekosongan atau berkawan dengan hidup, begitu kata Wdji Thukul.”

“Jadi lu ngerasa apatis?” Mahluk itu semakin mendekatkan mukanya ke arahku.

“Ya, karena gue apatis sama realitas. Gue cuma ngelakuin apa yang seharusnya dilakuin.”

“Wah, kalau jadi tentara lu bakal jadi orang apatis dalam satu pleton. Mungkin malah sekompi.”

“Up to you lah! Mau apatis, egois, idealis, puitis, praktis, narsis, gratis, minimalis, gue gak peduli.”

“Nah, kenapa lu nggak nerbitin buku sendiri aja?sekarang kan banyak tuh lembaga penerbitan. Istilah kerennya Self Publishing. Makin terbuka kebebasan buat berkarya cipta”

“Memang disatu sisi gue patut berbesar hati dengan menjamurnya lembaga penerbitan. Tetapi kebebasan saja tidak cukup, menciptakan karya sastra itu butuh keluasan juga kedalaman wawasan. Dan juga daya kreativitas yang tinggi. Kebanyakan sekarang karya tertulis dianggap sastra. Padahal belum tentu karya tertulis itu karya sastra. Nilai-nilai filsafat dan religi itu penting untuk sebuah karya sastra. Tanpa itu, karya hanya seonggok teks bisu dan hampa."

Anehnya, penulis sekarang banyak yang bersemangat menulis tapi menjauhi nilai-nilai tersebut. Maka jangan heran jika sekarang banyak karya sastra yang isinya Pop saja. Tapi bukan berarti ahli filsafat atau ulama itu sastrawan juga. Kadang kalau gue pas ke toko buku lalu menyempatkan ke bagian sastra, disana cuman dapet kekecewaan. Banyak berderet buku teenlit dan chicklit. Apa lagi kalau bukan tentang cerita remaja yang dramatis terlalu indah dengan dialog terlampau biasa. Miskin pesan moral. Kenalan-cinta-berantem-happy ending. Dan nggak bakal laku kalau nggak gitu. Trend yang berbicara. Kapitalisme merajalela. Takut nggak laku kalau nggak ikut seperti itu. Mungkin pemahamanan tentang sastra dianggap sebagai hiburan semata. Dan hal inilah yang sulit diharapkan kemajuan karya sastra kita. Tapi agaknya gue lupa bahwa suka atau tidak suka, kita semua sepertinya mengidap autisme.”

“Elu tuh pinternya menghina doang. Mending jadi kritikus sastra lu.”

“Wah, kritikus sastra juga sekarang banyak pindah haluan. Banyak penulis menganggap kritikus itu benalu. Bahkan sempat terjadi sastrawan religius ternama dengan kalimatnya yang bersahaja. ketika karyanya dikritik, mudah naik pitam, seperti orang yang habis nenggak[4] alkohol.”

“Sok tau lu, selera orang kan beda-beda. Dan nggak semua penulis seperti apa yang lu bilang. Atau elu bikin aja karya yang beda dari yang sudah ada.”

“Gue masih ngerasa bodoh....”

“Nah, itu ngaku.” potongnya diserti tawa.

“Mau dilanjutin nggak nih?” aku menatapnya tajam.

“Ups… Oke, gue bakal jadi pendengar yang baik.”

“Penulis sekarang lebih banyak mengandalkan imaji tak terbatasnya tanpa melihat kaidah-kaidah, padahal terkadang mengartikan ‘Cerita’ dengan ‘Plot’ saja masih belepotan. Alhasil novel-novel sekarang hanya berisi cerita mentah yang belum diolah menjadi plot. Parahnya lagi penggunaan bahasa untuk karyanya menggunakan bahasa harian.”

“Lho, kalau karya untuk remaja ya memang pakai bahasa harian lebih efektif kan? toh tidak semua pembaca yang tahu tentang sastra.”

“Itulah masalahnya, kita terlalu dinina-bobokkan oleh hal kecil yang berdampak besar. Lihat saja, anak muda jaman sekarang merasa asing ketika membaca bahasa indonesia yang baik dan benar. Aneh kan? Bahasa sendiri nggak tahu. Lebih klop pakai bahasa gaul. Dari virus Debi Sahertian, Cinta Laura, Syahrini, kini menyebar juga virus Alay.”

“Orang kere aja belagu. Pede banget sih lu!”

“Nggak ada alasan buat gue rendah diri. Gue mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan buat gue meski gue terlahir di tengah-tengah keluarga kurang mampu. Hidup ini terlalu berharga jika hanya untuk merenungi nasib. Terima aja dengan keikhlasan.”

“Gue tahu jauh di lubuk hati terdalam lu itu rapuh. Bersyukur? lantas kenapa lu gak pernah sholat? jangan-jangan elu pindah aliran Atheis ya?”

“Eits… Sekate-kate [5] lu. Jangan suka menuduh sembarangan. Bisa jadi kafir lu.”

“Lah sarung aja cuma buat selimut. Sholat jum’at kalau diajak bapak kost doang. Munafik lu.”

“Kata guru ngaji gue dulu ‘dahulukan ahlaq sebelum fiqih’. Intinya yang penting jalin kerukunan dulu. Gue mengikuti ajakan bapak kost menimbang kerukunan. Daripada gue dibenci ama dia”

“Hemmmm…. Gini ni jadinya kalau belajar ilmu agama lompat-lompat. Fiqih belum kelar lari ke Tauhid, Tauhid belum kelar lari ke Nahwu, belum kelar lagi udah pindah ke Tasawuf. Lu sebenarnya pinter tapi lu keblinger. Udah tau hukum sholat tapi nggak sholat.”

“Lah, kalau gue sholat lu angus dong. Kan elu setan,” aku terbahak.

“Yah, setan teriak setan.” umpatnya.

“Udah balik sono ke neraka, gue mau istirahat. Besok kerja pagi.”

“Gue tunggu kedatangan lu di neraka. Nanti gue kasih acara sambutan marawis dan tanjidor. Ha..ha..”

Sejurus kemudian tawanya memekakkan telinga, lalu perlahan menghilang diantara temaram kuning sinar bohlam.

“Setan lu!” teriakku.

Aku tersadar oleh peluh yang membanjiri meja. Panas berdesak-desakan dengan cahaya lampu lima watt. Kepalaku terasa begitu berat. Seluruh persendian serasa kaku. Pegal-pegal di setiap anggota badan. Aku memilih terpejam di kasur tua. Dengungan kipas angin perlahan membawaku terlelap.

========
Catatan Kaki:
[1] Kampungan
[2] Poni Lempar
[3] Pepatah Jawa: Kehormatan raga terlihat dari penampilan dan, kehormatan diri terlihat dari tutur bicara
[4] Minum
[5] Sekata-kata; istilah penghinaan dalam bahasa Betawi

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.