Tentang Sebuah Perpisahan
Baiklah, begini saja, sekarang aku akan bercerita tentang kesunyian hidupku saja. Kamu tahu, betapa kamu masih belum beranjak juga dari benakku. Seringnya diam-diam datang menyergap. Dan ketika aku berusaha melupakan, pun kamu datang lagi. Lalu hari tak pernah menjadi jeda. Kamu serupa pelita yang menyala redup. Menghembuskan nafas sekaligus mematikan. Patrikan aku pada kesepian kematian. Ini serupa pantai. Setelah ombak, riak tak pernah pudar. Pernahkah kamu melihat air pantai diam? mungkin ia akan kering, tapi membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Sesungguhnya aku tidak ingin menerbangkan mimpi-mimpiku lagi. Tapi bukankah mimpipun indah jika dinikmati? Maka biarkan aku cuma punya ilusi, walau itu sangat melelahkan. Ya, sungguh melelahkan membayangkan kamu disana. Mungkin sedang bercumbu dengan kekasih baru kamu, dan aku sedang bercumbu dengan kesendirian. Lalu ketika aku ingin berhenti sejenak, kamu datang lagi mengisi sekat kepalaku yang sarat beban hidup.
Untuk apa?
Aku bertanya-tanya dalam gamang. Bukankah kamu sudah berbalik arah? Berapa jarak sudah jauh membentang. Bukan hanya puluhan kota yang membatasi kita. Tapi juga kesempatan tak pernah mampu meruntuhkan kokohnya tembok perpisahan. Tetapi bukankah hidup diciptakan sedemikian rupa, agar perpisahan selalu terjadi, sebanding dengan berapa banyak jumlah pertemuan? Sayangnya kita tak mampu mengontrolnya. Kenangan kita berjejak pada kerak-kerak awan yang selalu berarak mengikuti arah angin. Setelah gelap, ia jatuh membentuk air dan hilang dalam perut bumi. Usai itu, ia membentuk pelangi yang tak mampu kusentuh.
Sesungguhnya aku tidak ingin menerbangkan mimpi-mimpiku lagi. Tapi bukankah mimpipun indah jika dinikmati? Maka biarkan aku cuma punya ilusi, walau itu sangat melelahkan. Ya, sungguh melelahkan membayangkan kamu disana. Mungkin sedang bercumbu dengan kekasih baru kamu, dan aku sedang bercumbu dengan kesendirian. Lalu ketika aku ingin berhenti sejenak, kamu datang lagi mengisi sekat kepalaku yang sarat beban hidup.
Untuk apa?
Aku bertanya-tanya dalam gamang. Bukankah kamu sudah berbalik arah? Berapa jarak sudah jauh membentang. Bukan hanya puluhan kota yang membatasi kita. Tapi juga kesempatan tak pernah mampu meruntuhkan kokohnya tembok perpisahan. Tetapi bukankah hidup diciptakan sedemikian rupa, agar perpisahan selalu terjadi, sebanding dengan berapa banyak jumlah pertemuan? Sayangnya kita tak mampu mengontrolnya. Kenangan kita berjejak pada kerak-kerak awan yang selalu berarak mengikuti arah angin. Setelah gelap, ia jatuh membentuk air dan hilang dalam perut bumi. Usai itu, ia membentuk pelangi yang tak mampu kusentuh.
Tidak ada komentar: