Bukan Siti Nurbaya ; Sebuah Cerpen Komedi
Salam. Inilah cerpen komedi pertama dari Wirasatriaji. Semoga termasuk cerpen komedi yang lucu dan menghibur. Karena pada dasarnya saya bukan komedian ataupun penulis komedi. Hanya belajar menulis dengan genre komedi. Silakan dinikmati cerpen komedi dari saya.
Senja mulai menutup hari dalam kebekuan sore yang dingin. Butir-butir jingga bermain manja di pucuk pepohonan taman. Hujan baru saja reda, aromanya khas yang berterbangan menyusup di sela kemesraan dua sejoli di bangku kayu sudut taman.
"Say, aku ngerasa beruntuuung ... banget jadi pacarmu. Soalnya, meskipun aku sering ngupil di depan kamu, tapi kamu tetep setia," ucap Rava memeluk Shella, kekasih hatinya yang sendu menawan. Kedua tangan Shella ikut melingkar ke tubuh laki-laki kurus itu. Rava tersenyum, merasakan dekapan hangat kekasihnya. Sedetik kemudian ia mendekap tubuh kekasih hatinya itu dengan penuh kelembutan. Menyelipkan perlahan jemarinya diantara legam rambut Shella yang hitam sehitam satria baja hitam.
"Auw... ," seketika Shella mengaduh ketika rambutnya tersangkut jemari Rava.
"Kok rambut kamu kusut, lepek, patah-patah, bercabang, dan berketombe, say?" tanya Rava menurunkan tangan.
"Ma'af say, aku nggak mandi tiga hari. Soalnya air di rumah lagi mampet" terang Shella melepas pelukan dari tubuh Rava.
"Nunggak ya?" tanya Rava mengerutkan dahi.
"Ho'oh," jawab Shella dramatis.
Kembali Rava mendekap kekasih hatinya itu. Sambil terpejam, Rava merasakan kedamaian dan rasa nyaman yang didapat di saat-saat seperti ini. Kedamaian akan sebuah ketulusan cinta Shella. Tiba-tiba, Rava merasa ada sebuah sentuhan kecil mendarat perlahan di pipi Rava. Shella menciumku, batin Rava. Tanpa membuka mata, Rava melengkungkan senyum penuh arti. Mencoba mengartikan apa yang dirasakan di pipi kirinya.
Plakkk... !
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di bandara pipi Rava.
"Sakiiit...!" sontak Rava berteriak mengaduh.
"Gila kamu say. Digigit nyamuk segede tai kebo gini nggak kerasa," jelas Shella setelah berhasil dengan sukses membunuh nyamuk di pipi Rava. Rona merah membekas di pipi kiri Rava.
Rava mengatupkan mulutnya setelah sepersekian detik merasa takjub mendengar alasan cewek manis di sebelahnya itu. Sedetik kemudian, ia kembali tersenyum.
Plakkk... !
Shella menampar kembali pipi Rava. Namun kali ini membekas merah di pipi kanan.
"Kamu ganteng banget kalau pipinya merona begini say. Makanya aku tampar lagi biar kanan kiri sama-sama merah," ungkap Shella tersipu malu-malu.
"Kamu Romantis say." Rava meringis sambil menggosok-gosok kedua pipinya. Panas rasanya.
Senja benar-benar lenyap. Terusir beludru malam yang menyajikan kegelapan. Pendar-pendar lampu kota mulai mengerlipkan sinarnya. Sorot lampu taman bermandikan cahaya sejenak menghadirkan hening diantara dua sejoli ini.
"Say..." tanya Shella memecah keheningan.
"Hmmm..." jawab Rava sambil ngupil dengan jari kelingkingnya. Lalu dioleskan di bawah bangku.
"Sudah hampir setahun kita pacaran. Aku pengen kita serius dalam menjalani hubungan kita, biar jelas mau dibawa kemana, say," ungkap Shella.
Rava menoleh sejenak, lalu berdiri dan, "Mau dibaaawa kemanaaa... , hubungan kita... " ujar Rava dengan menirukan gaya vocalis armada. Tangan kanannya seolah memegang microphone sambil mundur selangkah demi selangkah.
"Hiiih... Serius! Kapan kamu ke rumahku dan ngomong ke orangtuaku buat meyakinkan mereka? Aku pengen kita tunangan." Shella terlihat serius.
Rava kembali duduk. Lesu, lunglai. Seolah bibirnya kelu. Bukan lantaran dia tidak bisa menjawab pertanyaan kekasihnya itu, tapi lebih karena haus. Dua jam lebih mereka di taman. Namun tak ada penjual minuman. Taman ini memang terlihat sepi.
"Aku belum berani, say. Kuliahku belum kelar. Skripsiku selalu ditolak."
Tiba-tiba kesedihan menyergap raut wajah Rava. Kedua tangannya meremas-remas rambutnya sendiri. Padahal sebelumnya digunakan untuk ngupil.
"Apa kamu nggak pengen meyakinkan orangtuaku yang selama ini nggak suka sama kamu? Ayolah say, dicoba," pinta Shella penuh harap.
Rava tergelak. Mulutnya terbuka mirip kudanil menguap. "Kamu pengen orangtuamu suka sama aku? Kalau mereka nyatain cinta ke aku gimana?" tanya Rava polos.
"Stres! Udah ah, aku mau pulang!" Shella tampak kesal.
"Bentar... Bentar say..." Rava memegangi tangan Shella yang hendak bangkit dari tempat duduk.
"Jadi, kamu bersedia melamar aku? Kapan? Uuuh, makasih ya say..." Shella terlihat gembira. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Rava. Kini mereka berhadapan sangat dekat. Dekat sekali.
Dengan perlahan, Rava mengecup jemari kekasihnya, lalu berucap, "Bukan itu say. Aku cuma mau tanya. Ini taman kok sepi gini ya?" ujar Rava lirih.
"Ya jelas lah! Ini kan Taman Makam Pahlawan! Bego' !" bentak Shella setelah melepas genggaman. Dengan cepat ia mengayunkan langkah.
Rava terdiam. Terpaku di bangku kayu sudut taman. Memikirkan permintaan kekasih hatinya yang sangat dicintai.
Genap seminggu sudah hari berlalu setelah pembicaraan di taman itu. Dan itu membuat hubungan komunikasi mereka terhenti tanpa kejelasan. Setiap kali Rava mencoba menghubunginya, jawabannya selalu sama. "Ma'af. Nomor yang anda tuju tidak ingin dituju. Silahkan transit di halte berikutnya," suara operator ketika Rava mencoba menelponnya. Rava hanya menduga kekasihnya sekarang jadi sopir BusWay sehingga sibuk transit. Sebab Shella adalah pengemudi yang dikategorikan lincah dan bertenaga. Ah, cinta memang bikin GaRuDa, alias Galau menderu di dada.
Tapi demi sebuah pengorbanan cinta, di suatu senja memerah akhirnya Rava nekad menuju ke rumah kekasihnya. Dengan segenap jiwa dan raga, sampailah Rava di depan pintu rumah Shella. Ia berharap bisa meyakinkan kekasihnya agar mau menunggu keberaniannya menemui orangtua Shella.
“Say, aku sayaaaaang banget sama kamu,” ucap Rava setelah mendapati seorang cewek muncul dari balik pintu.
“Hemmm....” desah Shella tanpa ekspresi.
Shella duduk di kursi ruang tamu, diikuti Rava yang memilih duduk berhadapan dengannya.
“Kok sikap kamu dingin gitu sama aku, say?”
“Baru keluar dari kulkas.” Jawab Shella sekenanya.
“Owh....” Komentar cowoknya polos. “Kamu jangan marah lagi ya? Aku kan udah minta ma’af,” Rava menunduk, beraksi muka memelas, meski tanpa itupun dia selalu terlihat memelas.
“Lebih baik hubungan kita sampai hari ini aja,” ucap Shella pakem.
“Baiklah, aku akan pulang,” komentar Rava santai.
“Kamu kok nggak sedih sih?” Shella mengerutkan dahi.
“Kan kata kamu sampai hari ini aja. Besok kan masih bisa bareng lagi,” terang Rava menggaruk-garuk rambutnya yang kusam.
“Hiiiiiiiiiih...!!!” Shella menahan geram pada cowoknya.
“Kenapa lagi Say? Kamu sakit?” tanya Rava dengan keluguannya.
“Iya, sakit ati!”
“Aku kan setia, nggak selingkuh. Kenapa kamu sakit ati?” Rava heran.
“Huft... gimana ya cara jelasinnya biar kamu paham!”
Rava melongo mendengar kalimat Shella barusan. Shella yang melihatnya menjadi iba. Bukan lantaran kasihan akan kesedihan Rava, namun Shella merasa iba karena mulut Rava yang melongo meneteskan air liur.
“Aku udah mikirin mateng-mateng. Kalau kamu tetap nggak berani melamar aku, besok mungkin aku akan dilamar orang lain pilihan Ibuku.” Ucap Shella dengan mengancam.
“What? Dilamar? Aduhhh... ” Rava berucap lirih. Sakit dalam hatinya hanya mampu ditutup rapat-rapat dalam dada. Meski perih, sekuat tenaga ia mencoba tetap ceria. “Apa kamu mau jadi Siti Nurbaya? Sedangkan Siti Nurhaliza aja sekarang udah nggak laku.” tanya Rava dengan raut kesedihan.
“Ini demi masa depanku. Bukan aku tega sama kamu, setidaknya aku udah coba beri kamu kesempatan.” Shella semakin merasa bersalah.
“Kesempatan apa yang kamu berikan? Nelpon nggak pernah, SMS nggak pernah,” ucap Rava menirukan gaya sebuah iklan di TV.
“Bukan aku nggak punya pulsa... tapi aku buta aksara... ” rintih Shella mendramatisir.
“Masak sih?” dahi Rava mengkerut seketika.
“Maksudku, aku tuh males baca huruf di layar hp!” jelas Shella dengan kesal.
“Say.. pliss... Beri aku waktu setahun lagi untuk menyelesaikan kuliahku,” pinta Rava.
“Terserahlah apa katamu. Aku butuh cowok yang punya nyali. Punya keberanian sejati. Soalnya, hidup kita di hari-hari kedepan bakal lebih banyak lagi membutuhkan keberanian," ucap Shella menggurui.
Shella bangkit melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Rava dalam perih. Membuat dadanya sesak membiru.
Dengan langkah gontai, Rava meninggalkan rumah Shella.
Sebenarnya ada sesuatu yang ingin disampaikan pada Shella, namun Rava tak mampu mengungkapkannya. Bukan! bukan lantaran Shella meninggalkannya. Bukan pula karena Shella memutuskannya. Tapi sesungguhnya Rava ingin mengatakan sesuatu hal yang lebih penting dan krusial. Bahwa ia tak punya ongkos pulang untuk naik ojek.
Selama berpacaran dengan Shella, ia diajarkan akan sebuah arti cinta, ketulusan, juga haru biru. Tapi untuk hari ini, cinta mengajarkan tentang keletihan. Karena, dengan terpaksa Rava harus jalan kaki sepanjang sepuluh kilometer menuju rumahnya.
Mentari baru saja mengusir embun di pucuk rerumputan. Rava bergegas ke ruang dapur setelah mencuci muka.
"Mungkin ini bisa membantu," ujar Rava dengan wajah sumringah ketika mendapati botol racun serangga di lemari dapur.
"Jangan lakukan itu, tuan. Bunuh diri adalah dosa besar," tiba-tiba bi Asih, pembantu di rumah itu muncul dengan tergesa-gesa menemui Rava yang memegang racun serangga.
Rava mengerutkan dahi. Heran akan perkataan pembantunya yang gembrot mirip sumpelan meriam.
"Siapa juga yang mau bunuh diri, bi? Gue nyari ini buat nyemprot gudang. Soalnya besok gudang mau di cat," terang Rava.
Dengan memasang muka Syahrini menahan berak, bi Asih berucap, "Owh, kirain mau bunuh diri tuan. Soalnya yang saya tahu, tuan kan sedang bertengkar sama pacarnya."
"Sok tau lu," kata Rava menutup kembali lemari dapur.
"Eh tuan, ada surat buat tuan. Ini, terimalah," diserahkannya sepucuk surat dengan amplop berwarna merah jambu dengan gaya bak Dewi Kwan Im.
"Ma'af bi, gue nggak bisa menerimanya. Bibi bukan wanita tipe gue," ujar Rava bergaya seperti pangeran.
"Enak aja... Tuan pikir saya suka brondong cacingan kayak tuan?" bi Asih jual mahal.
"Lalu dari siapa bi? Jangan bilang kalau ini tagihan utang gue di warteg ujung jalan," tanya Rava dengan nada lirih.
"Tenang aja tuan. Ini surat titipan dari pacar tuan. Tadi non Shella kesini buat nitipin surat ini," terang bi Asih.
Reva tergelak. Seketika benaknya berkalung tanda tanya besar sebesar jangkar kapal Titanic (emang Titanic pake jangkar?).
Perlahan Rava membuka surat itu. Diamatinya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Namun tiba-tiba Rava menangis.
"Apa isi surat itu tuan? Apakah tuan benar-benar diputusin?" tanya bi Asih penasaran.
"Bukan bi, gue nggak bisa baca tulisan Shella. Sumpah, jelek banget... " Rava menunjukkan tulisan yang serupa mie keriting itu ke bi Asih sambil menahan tangis.
Dengan memasang gaya berfikir, bi Asih menggaruk-garuk kepalanya hingga ketombenya berjatuhan seperti hujan salju.
"Setahu gue cita-cita Shella emang pengen jadi dokter. Apa mungkin dia mempelajari ilmu kedokteran mulai dari cara menulis seperti dokter?" ucap Rava setelah berfikir.
"Lalu bagaimana tuan?" tanya bi Atun sok perhatian.
"Baiklah... gue harus minta bantuan dokter kayaknya buat baca," ucap Rava mantap.
"Saya bisa tuan!" tiba-tiba Tukijo, si tukang kebun ikut nimbrung. Ternyata dia dari tadi ikut nguping di belakang jendela.
Dengan susah payah, Tukijo masuk melalui jendela untuk ikut bergabung di ruang dapur.
"Cita-cita saya dulu juga dokter, tuan. Tapi dokter hewan. Berhubung Bapak saya melarang kuliah, akhirnya saya memilih jadi tukang kebun supaya bisa merawat cacing tanah, tuan," terang Tukijo dengan wajah yang tidak jauh beda juga dengan cacing.
"Benarkah kamu bisa?" tiba-tiba suara Ibu Rava terdengar dari arah ruang tengah. "He..he.. Ma'af saya tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kalian," kata Ibu Rava mengakuinya, hingga terpasang wajah Pamela Anderson habis mencret.
"Benar Nyonya besar. Tapi saya harus mengambil kacamata saya dulu di kamar saya. Sebentar," kata Tukijo yang langsung kabur ke kamarnya tanpa permisi.
Hening.
Mereka bertiga terpaksa menunggu Tukijo di dapur. Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga satu jam Tukijo tak kunjung kembali. Rava terduduk lemas di lantai dapur, sedang Ibunya merebahkan diri di atas meja. Bi Asih tidak mau kalah. Dengan santai dia hinggap di jendela.
"Begini saja. Sambil menunggu Tukijo, kita istirahat dulu. Yang mau makan silahkan makan dulu, yang mau mandi juga silahkan, yang mau twitter-an atau mau facebook-an juga silahkan. Nanti kita kembali kesini satu jam lagi," Rava mengambil keputusan.
Semua mengangguk. Sedetik kemudian, dapur telah sepi.
Satu jam kemudian mereka berkumpul kembali. Rava dan Ibunya, bi Asih, ditambah Ayah Rava, juga pak Dadang sopir ayahnya ikut bergabung.
"Bi Asih, simpan hape bibi ! Log out FB-nya," Ibu Rava memperingatkan bi Asih yang terlihat senyam-senyum sendiri sambil memandang layah ponselnya. Seketika itu muka bi Asih layu sebelum berkembang.
"Siapa yang FB-an? Ini cuma chatingan sama Bisma personil Smash. Katanya mau ngeluarin lagu baru, cinta cekot-cekot," bi Asih membela diri.
"Waooow... Bisma smash? Idola saya. Gantengnya..." ujar Ibu Rava takjub dengan gaya alay bin lebay menerawang ke langit-langit ruangan. Secara bersamaan, kotoran cicak jatuh tepat di hidungnya.
"Bha..ha..ha.. Makan tuh Bisma pake eek cicak," sahut Ayah Rava yang sebenarnya cemburu.
Seketika semuanya terbahak. Ibu Rava yang tadinya berbinar-binar kini kisut membersihkan hidungnya.
"Udah... Udah... itu Tukijo datang," kata Rava menunjuk ke arah Tukijo yang mandi keringat dan nafas kembang kempis.
"Ma'af menunggu lama. Soalnya kacamata saya pecah. Terus tadi ke tukang kaca dulu. Ini aja pake kaca nako," jelas Tukijo dengan ngos-ngosan. Lalu dipakainya kacamata setebal kamus itu. "Mana suratnya?" tanya Tukijo.
"Aduh. Gue lupa naruhnya lagi. Dimana tadi..." kata Rava sambil menepuk jidat.
"Ini yang kakak cari?" Calista, adik Rava yang masih SD tiba-tiba muncul dan membawa selembar kertas yang dimaksud. Benar-benar sinetron banget.
"Kamu nemu dimana? Sini, kasih Tukijo," Rava merebut surat itu dari tangan adiknya. "Hueek... Kok jadi bau gini suratnya. Lu apain ta?" tanya Rava.
"He..he... Tadi pas aku boker, airnya mampet. Nyari tissue nggak nemu. Terus ada kertas itu di meja. Aku pake aja," jawab Calista tanpa dosa.
Secara bersamaan semua yang hadir muntah-muntah. Kecuali Tukijo, dia tidak merasa jijik. Bukan apa-apa, hidungnya sudah tidak berfungsi normal akibat terinjak gajah waktu kecil. Makanya meski hidungnya pesek, tapi ngakunya dulu mancung.
"Tenang... Tenang... Saya bacakan ya?" ucap Tukijo menenangkan suasana.
Perlahan Tukijo membuka kertas merah jambu yang sekarang berhias kekuning-kuningan itu. Dibuka lipatan pertama, diputar, dijilat, di celupin. Eh salah, setelah membuka lipatan satu persatu dan terbuka seluruhnya, mulailah Tukijo mengeja kata demi kata.
Setelah Tukijo menutup surat itu, airmata Rava tak mampu lagi terpidana. Tumpah membanjiri lantai dapur. Semakin lama tangis Rava malah semakin kencang. Ia mengerang dan meronta-ronta.
"Kamu kenapa nak?" tanya Ayah Rava menggoyang-goyang pundak anak laki-lakinya. Namun Rava tetap mengerang. Ratapannya semakin menjadi-jadi.
"Jangan-jangan kesurupan, tuan," celetuk pak Dadang yang dari tadi ngantuk karena semalam ikut ronda.
"Kesurupan? Hiiii... Ngeri... Kabur ah..." bi Asih tiba-tiba bergidik. Ia bergegas lari meninggalkan ruangan. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Bi Asih bernasib na'as ketika hendak mengambil langkah seribu. Kaki bi Asih terpeleset air mata yang membanjiri lantai dapur itu.
Brukkk !
Bi Asih jatuh pingsan dalam keadaan mulut terbuka, terkapar di lantai dapur. Tapi itu tak menyurutkan semangat Rava untuk menangis dengan sejadi-jadinya hingga membuat suasana menjadi mistis. Petir tiba-tiba menggelegar, hujan turun deras. Lampu-lampu di seluruh ruangan berkedip. Sebentar terang sebentar redup.
“Ada apa ini... “ kata Tukijo.
"Ma'af bapak-bapak, ibu-ibu, semua yang ada disini. Tegangan listrik sedang naik turun. Kami kesini dalam proses perbaikan," kata pria yang tiba-tiba muncul dengan seragam serba biru dongker.
"Owh, rupanya jaringan listriknya," Ayah Rava manggut-manggut.
Tapi setelah kemunculan pria berseragam itu, Rava seketika itu juga berhenti menangis. "Siapa luuu?" teriak Rava dengan nada dongkol. Tapi yang ditanya hanya ngeluyur pergi tanpa menghiraukannya. Rava merasa jengkel karena banyaknya tokoh bermunculan yang sebenarnya tidak penting. Dirinya yang sebagai aktor utama dalam cerita ini merasa tersingkirkan.
"Nak, papa ingin bertanya," tanya Ayah Rava mantap.
"Aku tahu pa, pasti papa ingin menanyakan tentang Shella kan? Nggak apa-apa, aku bisa menerima kenyataan ini, pa," ucap Rava menunduk.
"Tidak! Bukan itu nak. Papa ingin bertanya sesuatu. Apakah kamu kentut? Soalnya tiba-tiba bau banget disini," jelas Ayah Rava sembari menutup hidung.
"Anu tuan, saya yang kentut. Ma'af kelepasan. Mules soalnya tadi pagi makan rujak. He..he... " sahut Tukijo yang nyengir dengan wajah Brat pitt kejepit pintu.
Menghindari amukan papa Rava, Tukijo memilih beranjak dari tempatnya. Kemudian ia menggendong bi Asih yang pingsan menuju ke ruang tengah.
"Nak, apa pernah kamu berdo'a untuk hubunganmu dengan Shella?" tanya Ayah mulai serius.
"Selalu pa. Pagi, siang, juga malam aku selalu berdoa agar hubungan kita selalu terjaga. Mau makan, mau tidur, mau boker, selalu kupanjatkan do'a untuknya," jawab Rava dengan ingus sisa-sisa tangisan yang meler dari hidung. Sesekali ia menjilatnya. Asin.
"Tapi kamu pasti tidak pernah berdo’a agar diberi kekuatan untuk tegar ketika harus kehilangan?”
Rava menggeleng.
Itulah manusia, selalu bersiap menjadi pemenang tanpa mempersiapkan diri jika kekalahan yang akan menghampirinya," terang Ayah Rava sambil berdiri.
"Iya pa. Aku sekarang mengerti," ucap Rava mulai menyadari akan garis takdir.
Lalu perlahan Rava mulai menegakkan punggungnya untuk berdiri. Kemudian jongkok, berdiri lagi, jongkok lagi, "hehehe... Olahraga bentar. Ternyata capek juga nangis," tawa Rava.
Akhirnya Ayah dan Ibu Rava tersenyum. Mereka bertiga saling berpelukan. Menyadari tidak ada yang mengajak pelukan, Pak Dadang langsung memeluk kulkas.
-sekian-
Semoga cerita Komedi ini lucu meskipun garing banget :D
Cerpen Komedi
Bukan Siti Nurbaya
Oleh : Wirasatriaji
Senja mulai menutup hari dalam kebekuan sore yang dingin. Butir-butir jingga bermain manja di pucuk pepohonan taman. Hujan baru saja reda, aromanya khas yang berterbangan menyusup di sela kemesraan dua sejoli di bangku kayu sudut taman.
"Say, aku ngerasa beruntuuung ... banget jadi pacarmu. Soalnya, meskipun aku sering ngupil di depan kamu, tapi kamu tetep setia," ucap Rava memeluk Shella, kekasih hatinya yang sendu menawan. Kedua tangan Shella ikut melingkar ke tubuh laki-laki kurus itu. Rava tersenyum, merasakan dekapan hangat kekasihnya. Sedetik kemudian ia mendekap tubuh kekasih hatinya itu dengan penuh kelembutan. Menyelipkan perlahan jemarinya diantara legam rambut Shella yang hitam sehitam satria baja hitam.
"Auw... ," seketika Shella mengaduh ketika rambutnya tersangkut jemari Rava.
"Kok rambut kamu kusut, lepek, patah-patah, bercabang, dan berketombe, say?" tanya Rava menurunkan tangan.
"Ma'af say, aku nggak mandi tiga hari. Soalnya air di rumah lagi mampet" terang Shella melepas pelukan dari tubuh Rava.
"Nunggak ya?" tanya Rava mengerutkan dahi.
"Ho'oh," jawab Shella dramatis.
Kembali Rava mendekap kekasih hatinya itu. Sambil terpejam, Rava merasakan kedamaian dan rasa nyaman yang didapat di saat-saat seperti ini. Kedamaian akan sebuah ketulusan cinta Shella. Tiba-tiba, Rava merasa ada sebuah sentuhan kecil mendarat perlahan di pipi Rava. Shella menciumku, batin Rava. Tanpa membuka mata, Rava melengkungkan senyum penuh arti. Mencoba mengartikan apa yang dirasakan di pipi kirinya.
Plakkk... !
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di bandara pipi Rava.
"Sakiiit...!" sontak Rava berteriak mengaduh.
"Gila kamu say. Digigit nyamuk segede tai kebo gini nggak kerasa," jelas Shella setelah berhasil dengan sukses membunuh nyamuk di pipi Rava. Rona merah membekas di pipi kiri Rava.
Rava mengatupkan mulutnya setelah sepersekian detik merasa takjub mendengar alasan cewek manis di sebelahnya itu. Sedetik kemudian, ia kembali tersenyum.
Plakkk... !
Shella menampar kembali pipi Rava. Namun kali ini membekas merah di pipi kanan.
"Kamu ganteng banget kalau pipinya merona begini say. Makanya aku tampar lagi biar kanan kiri sama-sama merah," ungkap Shella tersipu malu-malu.
"Kamu Romantis say." Rava meringis sambil menggosok-gosok kedua pipinya. Panas rasanya.
Senja benar-benar lenyap. Terusir beludru malam yang menyajikan kegelapan. Pendar-pendar lampu kota mulai mengerlipkan sinarnya. Sorot lampu taman bermandikan cahaya sejenak menghadirkan hening diantara dua sejoli ini.
"Say..." tanya Shella memecah keheningan.
"Hmmm..." jawab Rava sambil ngupil dengan jari kelingkingnya. Lalu dioleskan di bawah bangku.
"Sudah hampir setahun kita pacaran. Aku pengen kita serius dalam menjalani hubungan kita, biar jelas mau dibawa kemana, say," ungkap Shella.
Rava menoleh sejenak, lalu berdiri dan, "Mau dibaaawa kemanaaa... , hubungan kita... " ujar Rava dengan menirukan gaya vocalis armada. Tangan kanannya seolah memegang microphone sambil mundur selangkah demi selangkah.
"Hiiih... Serius! Kapan kamu ke rumahku dan ngomong ke orangtuaku buat meyakinkan mereka? Aku pengen kita tunangan." Shella terlihat serius.
Rava kembali duduk. Lesu, lunglai. Seolah bibirnya kelu. Bukan lantaran dia tidak bisa menjawab pertanyaan kekasihnya itu, tapi lebih karena haus. Dua jam lebih mereka di taman. Namun tak ada penjual minuman. Taman ini memang terlihat sepi.
"Aku belum berani, say. Kuliahku belum kelar. Skripsiku selalu ditolak."
Tiba-tiba kesedihan menyergap raut wajah Rava. Kedua tangannya meremas-remas rambutnya sendiri. Padahal sebelumnya digunakan untuk ngupil.
"Apa kamu nggak pengen meyakinkan orangtuaku yang selama ini nggak suka sama kamu? Ayolah say, dicoba," pinta Shella penuh harap.
Rava tergelak. Mulutnya terbuka mirip kudanil menguap. "Kamu pengen orangtuamu suka sama aku? Kalau mereka nyatain cinta ke aku gimana?" tanya Rava polos.
"Stres! Udah ah, aku mau pulang!" Shella tampak kesal.
"Bentar... Bentar say..." Rava memegangi tangan Shella yang hendak bangkit dari tempat duduk.
"Jadi, kamu bersedia melamar aku? Kapan? Uuuh, makasih ya say..." Shella terlihat gembira. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Rava. Kini mereka berhadapan sangat dekat. Dekat sekali.
Dengan perlahan, Rava mengecup jemari kekasihnya, lalu berucap, "Bukan itu say. Aku cuma mau tanya. Ini taman kok sepi gini ya?" ujar Rava lirih.
"Ya jelas lah! Ini kan Taman Makam Pahlawan! Bego' !" bentak Shella setelah melepas genggaman. Dengan cepat ia mengayunkan langkah.
Rava terdiam. Terpaku di bangku kayu sudut taman. Memikirkan permintaan kekasih hatinya yang sangat dicintai.
***
Genap seminggu sudah hari berlalu setelah pembicaraan di taman itu. Dan itu membuat hubungan komunikasi mereka terhenti tanpa kejelasan. Setiap kali Rava mencoba menghubunginya, jawabannya selalu sama. "Ma'af. Nomor yang anda tuju tidak ingin dituju. Silahkan transit di halte berikutnya," suara operator ketika Rava mencoba menelponnya. Rava hanya menduga kekasihnya sekarang jadi sopir BusWay sehingga sibuk transit. Sebab Shella adalah pengemudi yang dikategorikan lincah dan bertenaga. Ah, cinta memang bikin GaRuDa, alias Galau menderu di dada.
Tapi demi sebuah pengorbanan cinta, di suatu senja memerah akhirnya Rava nekad menuju ke rumah kekasihnya. Dengan segenap jiwa dan raga, sampailah Rava di depan pintu rumah Shella. Ia berharap bisa meyakinkan kekasihnya agar mau menunggu keberaniannya menemui orangtua Shella.
“Say, aku sayaaaaang banget sama kamu,” ucap Rava setelah mendapati seorang cewek muncul dari balik pintu.
“Hemmm....” desah Shella tanpa ekspresi.
Shella duduk di kursi ruang tamu, diikuti Rava yang memilih duduk berhadapan dengannya.
“Kok sikap kamu dingin gitu sama aku, say?”
“Baru keluar dari kulkas.” Jawab Shella sekenanya.
“Owh....” Komentar cowoknya polos. “Kamu jangan marah lagi ya? Aku kan udah minta ma’af,” Rava menunduk, beraksi muka memelas, meski tanpa itupun dia selalu terlihat memelas.
“Lebih baik hubungan kita sampai hari ini aja,” ucap Shella pakem.
“Baiklah, aku akan pulang,” komentar Rava santai.
“Kamu kok nggak sedih sih?” Shella mengerutkan dahi.
“Kan kata kamu sampai hari ini aja. Besok kan masih bisa bareng lagi,” terang Rava menggaruk-garuk rambutnya yang kusam.
“Hiiiiiiiiiih...!!!” Shella menahan geram pada cowoknya.
“Kenapa lagi Say? Kamu sakit?” tanya Rava dengan keluguannya.
“Iya, sakit ati!”
“Aku kan setia, nggak selingkuh. Kenapa kamu sakit ati?” Rava heran.
“Huft... gimana ya cara jelasinnya biar kamu paham!”
Rava melongo mendengar kalimat Shella barusan. Shella yang melihatnya menjadi iba. Bukan lantaran kasihan akan kesedihan Rava, namun Shella merasa iba karena mulut Rava yang melongo meneteskan air liur.
“Aku udah mikirin mateng-mateng. Kalau kamu tetap nggak berani melamar aku, besok mungkin aku akan dilamar orang lain pilihan Ibuku.” Ucap Shella dengan mengancam.
“What? Dilamar? Aduhhh... ” Rava berucap lirih. Sakit dalam hatinya hanya mampu ditutup rapat-rapat dalam dada. Meski perih, sekuat tenaga ia mencoba tetap ceria. “Apa kamu mau jadi Siti Nurbaya? Sedangkan Siti Nurhaliza aja sekarang udah nggak laku.” tanya Rava dengan raut kesedihan.
“Ini demi masa depanku. Bukan aku tega sama kamu, setidaknya aku udah coba beri kamu kesempatan.” Shella semakin merasa bersalah.
“Kesempatan apa yang kamu berikan? Nelpon nggak pernah, SMS nggak pernah,” ucap Rava menirukan gaya sebuah iklan di TV.
“Bukan aku nggak punya pulsa... tapi aku buta aksara... ” rintih Shella mendramatisir.
“Masak sih?” dahi Rava mengkerut seketika.
“Maksudku, aku tuh males baca huruf di layar hp!” jelas Shella dengan kesal.
“Say.. pliss... Beri aku waktu setahun lagi untuk menyelesaikan kuliahku,” pinta Rava.
“Terserahlah apa katamu. Aku butuh cowok yang punya nyali. Punya keberanian sejati. Soalnya, hidup kita di hari-hari kedepan bakal lebih banyak lagi membutuhkan keberanian," ucap Shella menggurui.
Shella bangkit melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Rava dalam perih. Membuat dadanya sesak membiru.
Dengan langkah gontai, Rava meninggalkan rumah Shella.
Sebenarnya ada sesuatu yang ingin disampaikan pada Shella, namun Rava tak mampu mengungkapkannya. Bukan! bukan lantaran Shella meninggalkannya. Bukan pula karena Shella memutuskannya. Tapi sesungguhnya Rava ingin mengatakan sesuatu hal yang lebih penting dan krusial. Bahwa ia tak punya ongkos pulang untuk naik ojek.
Selama berpacaran dengan Shella, ia diajarkan akan sebuah arti cinta, ketulusan, juga haru biru. Tapi untuk hari ini, cinta mengajarkan tentang keletihan. Karena, dengan terpaksa Rava harus jalan kaki sepanjang sepuluh kilometer menuju rumahnya.
***
Mentari baru saja mengusir embun di pucuk rerumputan. Rava bergegas ke ruang dapur setelah mencuci muka.
"Mungkin ini bisa membantu," ujar Rava dengan wajah sumringah ketika mendapati botol racun serangga di lemari dapur.
"Jangan lakukan itu, tuan. Bunuh diri adalah dosa besar," tiba-tiba bi Asih, pembantu di rumah itu muncul dengan tergesa-gesa menemui Rava yang memegang racun serangga.
Rava mengerutkan dahi. Heran akan perkataan pembantunya yang gembrot mirip sumpelan meriam.
"Siapa juga yang mau bunuh diri, bi? Gue nyari ini buat nyemprot gudang. Soalnya besok gudang mau di cat," terang Rava.
Dengan memasang muka Syahrini menahan berak, bi Asih berucap, "Owh, kirain mau bunuh diri tuan. Soalnya yang saya tahu, tuan kan sedang bertengkar sama pacarnya."
"Sok tau lu," kata Rava menutup kembali lemari dapur.
"Eh tuan, ada surat buat tuan. Ini, terimalah," diserahkannya sepucuk surat dengan amplop berwarna merah jambu dengan gaya bak Dewi Kwan Im.
"Ma'af bi, gue nggak bisa menerimanya. Bibi bukan wanita tipe gue," ujar Rava bergaya seperti pangeran.
"Enak aja... Tuan pikir saya suka brondong cacingan kayak tuan?" bi Asih jual mahal.
"Lalu dari siapa bi? Jangan bilang kalau ini tagihan utang gue di warteg ujung jalan," tanya Rava dengan nada lirih.
"Tenang aja tuan. Ini surat titipan dari pacar tuan. Tadi non Shella kesini buat nitipin surat ini," terang bi Asih.
Reva tergelak. Seketika benaknya berkalung tanda tanya besar sebesar jangkar kapal Titanic (emang Titanic pake jangkar?).
Perlahan Rava membuka surat itu. Diamatinya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Namun tiba-tiba Rava menangis.
"Apa isi surat itu tuan? Apakah tuan benar-benar diputusin?" tanya bi Asih penasaran.
"Bukan bi, gue nggak bisa baca tulisan Shella. Sumpah, jelek banget... " Rava menunjukkan tulisan yang serupa mie keriting itu ke bi Asih sambil menahan tangis.
Dengan memasang gaya berfikir, bi Asih menggaruk-garuk kepalanya hingga ketombenya berjatuhan seperti hujan salju.
"Setahu gue cita-cita Shella emang pengen jadi dokter. Apa mungkin dia mempelajari ilmu kedokteran mulai dari cara menulis seperti dokter?" ucap Rava setelah berfikir.
"Lalu bagaimana tuan?" tanya bi Atun sok perhatian.
"Baiklah... gue harus minta bantuan dokter kayaknya buat baca," ucap Rava mantap.
"Saya bisa tuan!" tiba-tiba Tukijo, si tukang kebun ikut nimbrung. Ternyata dia dari tadi ikut nguping di belakang jendela.
Dengan susah payah, Tukijo masuk melalui jendela untuk ikut bergabung di ruang dapur.
"Cita-cita saya dulu juga dokter, tuan. Tapi dokter hewan. Berhubung Bapak saya melarang kuliah, akhirnya saya memilih jadi tukang kebun supaya bisa merawat cacing tanah, tuan," terang Tukijo dengan wajah yang tidak jauh beda juga dengan cacing.
"Benarkah kamu bisa?" tiba-tiba suara Ibu Rava terdengar dari arah ruang tengah. "He..he.. Ma'af saya tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kalian," kata Ibu Rava mengakuinya, hingga terpasang wajah Pamela Anderson habis mencret.
"Benar Nyonya besar. Tapi saya harus mengambil kacamata saya dulu di kamar saya. Sebentar," kata Tukijo yang langsung kabur ke kamarnya tanpa permisi.
Hening.
Mereka bertiga terpaksa menunggu Tukijo di dapur. Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga satu jam Tukijo tak kunjung kembali. Rava terduduk lemas di lantai dapur, sedang Ibunya merebahkan diri di atas meja. Bi Asih tidak mau kalah. Dengan santai dia hinggap di jendela.
"Begini saja. Sambil menunggu Tukijo, kita istirahat dulu. Yang mau makan silahkan makan dulu, yang mau mandi juga silahkan, yang mau twitter-an atau mau facebook-an juga silahkan. Nanti kita kembali kesini satu jam lagi," Rava mengambil keputusan.
Semua mengangguk. Sedetik kemudian, dapur telah sepi.
***
Satu jam kemudian mereka berkumpul kembali. Rava dan Ibunya, bi Asih, ditambah Ayah Rava, juga pak Dadang sopir ayahnya ikut bergabung.
"Bi Asih, simpan hape bibi ! Log out FB-nya," Ibu Rava memperingatkan bi Asih yang terlihat senyam-senyum sendiri sambil memandang layah ponselnya. Seketika itu muka bi Asih layu sebelum berkembang.
"Siapa yang FB-an? Ini cuma chatingan sama Bisma personil Smash. Katanya mau ngeluarin lagu baru, cinta cekot-cekot," bi Asih membela diri.
"Waooow... Bisma smash? Idola saya. Gantengnya..." ujar Ibu Rava takjub dengan gaya alay bin lebay menerawang ke langit-langit ruangan. Secara bersamaan, kotoran cicak jatuh tepat di hidungnya.
"Bha..ha..ha.. Makan tuh Bisma pake eek cicak," sahut Ayah Rava yang sebenarnya cemburu.
Seketika semuanya terbahak. Ibu Rava yang tadinya berbinar-binar kini kisut membersihkan hidungnya.
"Udah... Udah... itu Tukijo datang," kata Rava menunjuk ke arah Tukijo yang mandi keringat dan nafas kembang kempis.
"Ma'af menunggu lama. Soalnya kacamata saya pecah. Terus tadi ke tukang kaca dulu. Ini aja pake kaca nako," jelas Tukijo dengan ngos-ngosan. Lalu dipakainya kacamata setebal kamus itu. "Mana suratnya?" tanya Tukijo.
"Aduh. Gue lupa naruhnya lagi. Dimana tadi..." kata Rava sambil menepuk jidat.
"Ini yang kakak cari?" Calista, adik Rava yang masih SD tiba-tiba muncul dan membawa selembar kertas yang dimaksud. Benar-benar sinetron banget.
"Kamu nemu dimana? Sini, kasih Tukijo," Rava merebut surat itu dari tangan adiknya. "Hueek... Kok jadi bau gini suratnya. Lu apain ta?" tanya Rava.
"He..he... Tadi pas aku boker, airnya mampet. Nyari tissue nggak nemu. Terus ada kertas itu di meja. Aku pake aja," jawab Calista tanpa dosa.
Secara bersamaan semua yang hadir muntah-muntah. Kecuali Tukijo, dia tidak merasa jijik. Bukan apa-apa, hidungnya sudah tidak berfungsi normal akibat terinjak gajah waktu kecil. Makanya meski hidungnya pesek, tapi ngakunya dulu mancung.
"Tenang... Tenang... Saya bacakan ya?" ucap Tukijo menenangkan suasana.
Perlahan Tukijo membuka kertas merah jambu yang sekarang berhias kekuning-kuningan itu. Dibuka lipatan pertama, diputar, dijilat, di celupin. Eh salah, setelah membuka lipatan satu persatu dan terbuka seluruhnya, mulailah Tukijo mengeja kata demi kata.
Untuk Rava Sayang,
Sebelumnya Shella minta ma'af jika Shella menulis surat ini.
Rava sayang, mungkin kita sudah nggak bisa disatukan lagi. Bukan! Bukan karena kamu idiot. Aku tahu itu bawaan kamu lahir. Shella bisa nerima kamu apa adanya. Bukan juga masalah ucapanku kemarin. Sebenarnya Shella kemarin hanya mengarang cerita saja tentang lamaran itu. Tapi sungguh ini diluar dugaan sayang, Shella nggak menduga jika ternyata orangtuaku memang telah menjodohkan Shella dengan seseorang. Kebetulan banget ya? Namanya juga komedi.
Terus terang, orangtua Shella benar-benar telah menjodohkan Shella dengan seseorang. Dan kembali lagi diluar dugaan, seminggu lagi sudah ditetapkan pernikahan. Memang banyak sekali hal yang terjadi di luar dugaan kita, karena mungkin di dalam dugaan sudah sesak makanya dugaan lebih memilih di luar.
Rava sayang, Shella nggak habis pikir, kenapa Shella nggak boleh memilih pasangan Shella sendiri? Shella sudah berulang kali menjelaskan pada orangtua Shella bahwa ‘Sheila on seven’ saja punya kekasih gelap, ’Sheila Majid’ juga sebentar lagi akan launching album barunya. Tapi mereka tetap saja ngotot mau menjodohkan shella.
Rava sayang, Shella sekarang nggak bisa berbuat apa-apa. Shella hanya ingin berbakti pada orangtua. Shella nggak mau jadi malin kundang. Sebab, maling sandal jepit saja dihukum bertahun-tahun. Restui Shella ya sayang?
Salam sayang,
Shella Alinda.
Setelah Tukijo menutup surat itu, airmata Rava tak mampu lagi terpidana. Tumpah membanjiri lantai dapur. Semakin lama tangis Rava malah semakin kencang. Ia mengerang dan meronta-ronta.
"Kamu kenapa nak?" tanya Ayah Rava menggoyang-goyang pundak anak laki-lakinya. Namun Rava tetap mengerang. Ratapannya semakin menjadi-jadi.
"Jangan-jangan kesurupan, tuan," celetuk pak Dadang yang dari tadi ngantuk karena semalam ikut ronda.
"Kesurupan? Hiiii... Ngeri... Kabur ah..." bi Asih tiba-tiba bergidik. Ia bergegas lari meninggalkan ruangan. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Bi Asih bernasib na'as ketika hendak mengambil langkah seribu. Kaki bi Asih terpeleset air mata yang membanjiri lantai dapur itu.
Brukkk !
Bi Asih jatuh pingsan dalam keadaan mulut terbuka, terkapar di lantai dapur. Tapi itu tak menyurutkan semangat Rava untuk menangis dengan sejadi-jadinya hingga membuat suasana menjadi mistis. Petir tiba-tiba menggelegar, hujan turun deras. Lampu-lampu di seluruh ruangan berkedip. Sebentar terang sebentar redup.
“Ada apa ini... “ kata Tukijo.
"Ma'af bapak-bapak, ibu-ibu, semua yang ada disini. Tegangan listrik sedang naik turun. Kami kesini dalam proses perbaikan," kata pria yang tiba-tiba muncul dengan seragam serba biru dongker.
"Owh, rupanya jaringan listriknya," Ayah Rava manggut-manggut.
Tapi setelah kemunculan pria berseragam itu, Rava seketika itu juga berhenti menangis. "Siapa luuu?" teriak Rava dengan nada dongkol. Tapi yang ditanya hanya ngeluyur pergi tanpa menghiraukannya. Rava merasa jengkel karena banyaknya tokoh bermunculan yang sebenarnya tidak penting. Dirinya yang sebagai aktor utama dalam cerita ini merasa tersingkirkan.
"Nak, papa ingin bertanya," tanya Ayah Rava mantap.
"Aku tahu pa, pasti papa ingin menanyakan tentang Shella kan? Nggak apa-apa, aku bisa menerima kenyataan ini, pa," ucap Rava menunduk.
"Tidak! Bukan itu nak. Papa ingin bertanya sesuatu. Apakah kamu kentut? Soalnya tiba-tiba bau banget disini," jelas Ayah Rava sembari menutup hidung.
"Anu tuan, saya yang kentut. Ma'af kelepasan. Mules soalnya tadi pagi makan rujak. He..he... " sahut Tukijo yang nyengir dengan wajah Brat pitt kejepit pintu.
Menghindari amukan papa Rava, Tukijo memilih beranjak dari tempatnya. Kemudian ia menggendong bi Asih yang pingsan menuju ke ruang tengah.
"Nak, apa pernah kamu berdo'a untuk hubunganmu dengan Shella?" tanya Ayah mulai serius.
"Selalu pa. Pagi, siang, juga malam aku selalu berdoa agar hubungan kita selalu terjaga. Mau makan, mau tidur, mau boker, selalu kupanjatkan do'a untuknya," jawab Rava dengan ingus sisa-sisa tangisan yang meler dari hidung. Sesekali ia menjilatnya. Asin.
"Tapi kamu pasti tidak pernah berdo’a agar diberi kekuatan untuk tegar ketika harus kehilangan?”
Rava menggeleng.
Itulah manusia, selalu bersiap menjadi pemenang tanpa mempersiapkan diri jika kekalahan yang akan menghampirinya," terang Ayah Rava sambil berdiri.
"Iya pa. Aku sekarang mengerti," ucap Rava mulai menyadari akan garis takdir.
Lalu perlahan Rava mulai menegakkan punggungnya untuk berdiri. Kemudian jongkok, berdiri lagi, jongkok lagi, "hehehe... Olahraga bentar. Ternyata capek juga nangis," tawa Rava.
Akhirnya Ayah dan Ibu Rava tersenyum. Mereka bertiga saling berpelukan. Menyadari tidak ada yang mengajak pelukan, Pak Dadang langsung memeluk kulkas.
-sekian-
Semoga cerita Komedi ini lucu meskipun garing banget :D
Tidak ada komentar: