Maukah Kau Menikah Denganku?

Senin, Maret 31, 2014
Dan aku ingin belajar setia pada sebuah janji untukmu. Sayangku, pil manis getir telah kita lalui hampir 6 tahun bersama menjalin 'percaya'. Belajar teguh pada sebuah ikrar yang tak tersurat. Setia pada lingkaran yang dilambangkan dengan warna merah jambu.

Mengapa cinta selalu diidentikkan dengan warna merah jambu? Sungguh tidak rasional bukan? Ah, tapi cinta memang sering tak rasional sayang. Sama seperti tidak rasionalnya cinta kita yang mampu bertahan sampai dua ribu seratus dua puluh lima hari hingga hari ini. Aku, si angkuh yang tengil dan kamu, si biru yang pencemburu. Dan kita mampu bersama dalam cinta yang kutahu bukan merah jambu.

Maka, biarkan dingin mendahului muntapnya rinai kata. Sungguh ingin mendekapmu dalam gerimis. Harumu-haruku kukumpulkan menjadi gamis. Sayangku, masihkah kauingat pertemuan terakhir kita. Sebuah pelukan singkat, intens, dan kejam yang kauhadiahkan padaku. Sebab sesudah itu, pelukanmu mampu membelah ujung-ujung rambutku penuh rindu; meranggaskan benakku seperti hutan jati di musim kemarau. Terkadang tiba-tiba menohok lamunanku dan buyarkan kurva persinggungan kita.

Cap Kaki Tiga, Setia, Manfaat


Sayangku, memang tak banyak cerita yang kita buat, sebab kebersamaan kita hanya kalau aku menunjungimu di rumahmu. Sebab kamu memang bukan tipe petualang yang suka pergi kemana-mana sebagaimana aku yang suka menyeret kaki kemana-mana. Kamu pencinta rumah sejati, aku juga, tetapi aku juga pencinta perjalanan panjang menelusuri kota-kota yang belum pernah kujejaki. Dan kamu akan setia menungguku di rumahmu, sebab sejauh aku pergi, akan selalu pulang ke tempat dimana kamu dilahirkan, dimana aku titipkan kerinduan pada tubuh lembutmu.

Jujur, padahal berulangkali aku meruntuhkan segala mitos tentang cinta dan kesetiaan. Dan aku tak tahu lagi apa artinya cinta, apakah masih sama seperti aku lima menit yang lalu atau sudah lain. Sebab, hidup di jaman sekarang memang haruslah demikian. Aku juga tak tahu lagi tentang apa yang kuinginkan dan apa yang kulakukan. Inikah rasanya menjadi seorang manusia? Inikah rasanya mengalir bagaikan air? mungkin aku sedang mengalir ke comberan.

"What is Setia?" tanyamu padaku sore itu  lewat benda mungil yang suka melahap pulsa dengan rakus.

Nyaiku sayang, kedengarannya pertanyaanmu itu mudah kujawab. Tapi sungguh, aku tak tahu mesti menjawab apa. Aku bukan filsuf atau ahli teologis, cuma seorang pacar yang kadangkala tak bisa diandalkan. Jawabanku pasti tak bakal memuaskanmu. Lagipula, rasanya aku ini bukan orang yang punya keyakinan cukup kuat terhadap sesuatu. Mungkin karena itulah aku tak pernah benar-benar berhasil dalam menjalani hidup.

Aku heran, akhir-akhir ini engkau mulai mengurusi hal-hal tentang "Setia" dan semacamnya yang kuanggap aneh. Ataukah sebenarnya aku yang aneh, kurang mengenalmu dengan baik? Tapi aku senang kau sudah bertanya padaku, seorang pacar yang kadangkala tak bisa diandalkan dan mungkin kurang bermanfaat dalam hidupmu. Ini membuatku berpikir tentang hubungan kita, dan juga hal-hal yang sempat kupandang dengan skeptis. Menyenangkan bukan, ternyata kita masihlah manusia biasa dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar soal kemanusiaan.

Aku tak pernah menghitung berapa jari yang sudah kugunakan untuk menghitung hari tanpamu. Long Distance Relationship, meski aku tak ingin percaya jarak mampu menentukan kualitas hubungan. Aku memang tak bisa merangkai cerita sebagus mereka yang mengidap Psycodramatis. Tak bisa menjadi seseorang yang Melankolis stadium tiga. Sehingga aku pun tak bisa bercerita padamu bahwa rindu ini demikian jitu memilin ubun-ubunku.

Betapa saat kelam mencumbui raut bulan, jiwa ini takut pada malam. Sebab ketika malam datang, hingar bingar aku dipecundangi sepi yang membelai rindu akanmu. Betapa sendiriku pun tak mampu menyatu dengan buaian bayangmu. Aku juga  tidak bisa dipaksa merangkai cerita serupa Ayat-ayat Cinta dengan dialog yang membosankan. Tak bisa mencipta kisah picisan sengeri lirik-lirik lagu indonesia yang makin hari makin memuakkan.

Pada pagi hari yang tenang tempat sayap-sayap cahaya merekah merindukan nyala awan, pada kupu-kupu yang menjauhkan ajal dari setiap pepohon, pada embun yang selalu menjanjikan kebeningan, mari sayang, mendekatlah bersama rindu yang kian menggelegar. Kupejamkan mataku dan membayangkan hadirmu berikan hangat dan kita menyatu dalam desah nafas memburu. Candunya mengikat hasratku setiap waktu. Berbulan bahkan bertahun sudut itu selalu kita hiasi dengan canda, tawa, desah nafas kita dan kita teguk anggur dalam cawan cinta kita. Sehingga hampir saja aku membuat rumah dalam sudut yang gelap yang dindingnya masih tercium bau keringat kita. Masih terngiang di telingaku saat kautiupkan lembut kata setia darimu dan kulihat terselip tulus di lipatan telingamu. Lipatan-lipatan yang sering aku ciumi saat rindu menggangguku.

Sayangku cintaku honey Bunny Sweety Baby ... yang lebih kusukai memangilmu dengan Nyai, jika kau mampu mengerti tentang ketulusan itu, mari kita diskusikan kembali sebuah ketulusan yang pernah kulayangkan dalam ponselmu. Seikat kesempurnaan yang masih kausimpan dalam folder pribadimu. Menyatukan janji yang terekam di kepala. Lalu kurengkuh sayapmu, kubawa terbang pada sebuah rumah yang diwariskan alam kepadaku. Untuk kemudian memulai intro cerita baru dengan sketsa celoteh anak-anak kita, Sayang, Maukah kau menikah denganku?

11 komentar:

  1. Keren.. mazku ngajak nikah lewat blog :d

    BalasHapus
  2. Sosok lelaki yang romantis ya mas

    (h)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama seperti tidak rasionalnya cinta kita yang mampu bertahan sampai dua ribu seratus dua puluh lima hari hingga hari ini.

      ini kalimat terkeren :o


      Hapus
  3. Oh artikel buat lomba? semoga menang ya mas... sumpah keren :)

    BalasHapus
  4. Iiih, Masnya pinter ngComparenya.. Hahaha.. Keren!
    Selamat berjuang! Semoga dipeluk keberuntungan!

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.