Sebuah Renungan ; Mari Berbagi Pandangan

Senin, Juni 07, 2010
Selamat datang di sini, sebuah ruang yang kuperuntukkan buat kalian. Kalian bebas melakukan apa saja di sini selama itu kalian anggap pantas -dan aku anggap pantas. Aku ingin kalian semua tahu bahwa sungguh menyenangkan bisa, belajar dari pikiran serta kata-kata kalian, dan bisa mengucapkan perasaanku pada kalian baik secara langsung maupun tidak langsung.

Beberapa waktu yang lalu aku mengenal seseorang lelaki tua yang sampai saat ini aku belum juga bisa melihat wajah yang sesungguhnya. Dia selalu mengenakan topeng yang menutup sebagian wajahnya. Dengan meluangkan banyak waktu bersamanya dan belajar darinya, aku menjulukinya sebagai Si Serba Tahu, karena ia memang tahu dan mengerti banyak hal.

Sebuah Renungan


Pak Tua bilang, dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal apalagi lulus sekolah. Aku curiga pak Tua ini Si Pengembara waktu. Menjelajahi masa lalu atau bahkan mungkin masa depan. Bisa jadi dia belajar baca tulis dari para dewa-dewa di jaman dia dilahirkan. Aku juga curiga dia mempelajari banyak hal sebelumnya lebih sebagai beban dan kewajiban ketimbang sebagai hiburan dan bumbu pelipur waktu. Tapi aku yakin, dan kuharap kalian juga sepakat bahwa Pak Tua itu dulu dan sekarang (bahkan mungkin nanti) adalah seorang guru, guru kebajikan.

Dalam banyak kesempatan aku yakin Pak Tua ini akan memainkan peran lebih penting ketimbang hanya sekedar memerintah saja. Artinya tidak sekedar tunjuk sana-tunjuk sini atau berbicara di atas mimbar. Pak Tua ini punya sejuta kisah yang menakjubkanku, dan aku selalu mendengar kisah-kisahnya dengan seksama karena setelah selesai bercerita biasanya Pak Tua bertanya beberapa hal. Persis seperti seorang guru.


Begini ceritanya....

Ada suatu masa, di jaman dahulu sekali, saat tak seorang pun melihat. Bukan berarti lelaki dan perempuan di sini tak punya mata. Secara alami mereka punya, tapi mereka tak melihat. Dewa-dewa paling agung, mereka yang melahirkan dunia, yang paling mula, tentu saja telah menciptakan banyak hal tanpa jelas apa dan kenapa-nya, fungsi dan kerja yang harus atau sebaiknya coba dilakukan masing-masing benda. Karena tiap benda punya alasannya. Lebih khusus lagi, karena dewa-dewa yang melahirkan dunia itu, yang paling mula, jelaslah yang paling agung, dan karenanya mereka tak begitu ambil pusing dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka melakukan segala sesuatu seperti pesta, seperti dolanan, seperti tarian. Tentu saja, yang paling sepuh di antara para sepuh bercerita bahwa saat dewa-dewa itu berkumpul, harus ada sebuah marimba, sebab di penghujung rapat mereka, nyanyian dan tarian pasti mengalun. Malahan, kata mereka, kalau tak ada marimba, tak bakal ada rapat, dan begitulah dewa-dewa tersebut, duduk nongkrong, bercanda, dan membuat kenakalan-kenak­alan.

Baiklah, meski mereka itu dewa-dewa pertama, yang teragung, yang melahirkan dunia, tapi mereka tidak membuat jelas apa dan kenapa semua benda. Dan satu dari sekian benda itu adalah mata. Mungkinkah dewa-dewa itu bilang mata itu untuk melihat? Tidak.

Maka para lelaki dan perempuan di situ berkelana dengan kesulitan besar, bersenggolan satu sama lain dan terjatuh, saling bertubrukan dan mengambil benda-benda yang tidak mereka kehendaki. Sebaliknya malah tidak mengambil apa-apa yang mereka butuhkan.

Begitulah, seperti banyak orang sekarang ini yang mengambil apa yang tidak mereka butuhkan dan akibatnya merusak diri mereka sendiri, dan bukannya meraih apa yang mereka butuhkan untuk jadi lebih baik, mereka tersandung sana-sini, saling menjatuhi satu sama lain. Sebenarnya, lelaki dan perempuan yang paling mula itu punya mata tapi tak melihat. Dan mereka itu punya beragam jenis mata. Aneka warna, aneka ukuran, dan bentuknya pun beragam. Ada yang bulat, ada yang lonjong, kecil, besar, sedang, hitam, biru, kuning, hijau, coklat, merah dan putih. Ya, ada banyak mata, dua untuk tiap lelaki dan perempuan permulaan itu, tapi mereka tak melihat apapun.

Begitulah yang terjadi sampai jaman kita sekarang ini; sesuatu tak bisa didapat begitu saja. Suatu saat dewa-dewa pertama tersebut, yang melahirkan dunia, yang paling agung, sedang menari, sebab bulan Juni, dulu sampai kini, adalah bulan penuh kenangan. Bebera­pa orang lelaki dan perempuan yang tak melihat kebetulan ada di tempat para dewa-dewa itu berpesta. Mereka menubruk dewa-dewa itu begitu saja, beberapa malah terjerembab menjatuhi marimba dan merusaknya, lantas pesta itu murni berubah jadi kegaduhan dan musik pun berhenti, nyanyian berhenti lantas tarian ikut berhenti. Benar-benar kacau. Dewa-dewa itu tengak-tengok kiri-kanan dan mencari tahu kenapa pesta itu berhenti dan orang-orang lelaki dan perempuan yang tidak melihat itu terus saja tersandung-sand­ung dan menjatuhi satu sama lain bahkan menjatuhi dewa-dewa itu. Begitulah yang terjadi untuk beberapa lama, diiringi tubrukan, bunyi berdebam, umpatan dan makian.

Lalu akhirnya, segera setelah itu, dewa-dewa yang paling agung itu sadar bahwa semua kekacauan ini bermula saat orang-orang lelaki dan perempuan itu tiba. Lantas mereka mendatanginya lalu bertanya satu sama lain apakah mereka tidak melihat ke arah mana mereka pergi. Orang-orang lelaki dan perempuan itu tak saling melihat sebab mereka tak bisa melihat sama sekali, tapi mereka bertanya apa itu "melihat".

Maka mengertilah dewa-dewa yang melahirkan dunia itu bahwa belum menjelaskan apa guna mata, atau apa sebenarnya reason d'etre-nya, atau apa dan mengapa ada mata. Lantas yang paling agung dari para dewa itu menjelaskan pada orang-orang lelaki dan perempuan itu soal "penglihatan", dan mereka mengajarinya melihat.

Maka begitulah orang-rang lelaki dan perempuan itu bisa tahu bahwa mereka bisa saling mengenal satu sama lain, mengenali siapa ini dan siapa itu, sehingga tak sampai menubruknya, atau menyenggolnya, atau melewatinya, atau berlari menerjangnya. Mereka juga belajar bahwa seseorang bisa melihat ke dalam diri orang lain dan melihat apa yang dirasakan oleh hatinya. Sebab hati tak selalu bicara dengan kata-kata yang terucap lewat bibir. Seringkali hati berucap lewat kulit, lewat tatapan mata, atau lewat langkah kaki.

Mereka juga belajar melihat orang yang sedang melihat mereka menatap dia, atau belajar melihat diri sendiri dari tatapan mata orang lain. Dan mereka juga belajar melihat orang lain yang melihat mereka. Orang-orang lelaki dan perempuan itu belajar semua cara melihat. Dan yang terpenting yang telah mereka pelajari adalah tatapan yang melihat dan mengenali serta belajar dari dirinya sendiri, tatapan yang melihat dirinya sendiri sedang menatap dan menatap dirinya sendiri, yang melihat adanya jalan dan melihat pagi hari yang sama-sama belum dilahirkan, jalan-jalan yang masih harus ditorehkan dan fajar-fajar yang masih harus dipendarkan.

Setelah mereka mempelajarinya,­ dewa-dewa yang melahirkan dunia mempercayakan orang-orang lelaki dan perempuan ini -yang datang tersandung-sand­ung, menubruk, dan menimpa apa saja- sebuah tugas untuk mengajari orang-orang lelaki dan perempuan lainnya cara melihat dan apa itu penglihatan. Agar orang-orang lain belajar melihat dan bisa melihat diri mereka sendiri. Tak semua orang belajar, sebab dunia sudah setengah jalan dan orang-orang lelaki dan perempuan sudah menapak kemana-mana, tersandung, terjatuh, menimpa satu sama lain. Tapi beberapa orang sungguh-sungguh­ mempelajarinya dan orang-orang yang belajar ini adalah mereka yang dinamakan "lelaki dan perempun jejagungan, manusia-manusia­ sejati".

...

Pak Tua itu sejenak terdiam, aku menatapnya yang melihatku menatapnya, lantas kualihkan pandanganku menatap sudut fajar mana saja. Pak Tua itu melihat apa yang sedang kulihat, dan tanpa berucap sepatah kata pun, ia lambaikan puntung rokoknya yang masih menyala dengan tangannya. Tiba-tiba, terpanggil oleh pendar sinar dari tangan Pak Tua, seekor kunang-kunang dari pojok tergelap malam dan dengan melacak pita cahaya yang cuma sekejap itu, ia tiba mendekati tempat kami duduk. Pak Tua menjumput kunang-kunang itu dengan jarinya, lantas meniupnya, mengucapkan selamat tinggal. Kunang-kunang itu pergi, mengobarkan sinar kelap-kelipnya.­ Untuk sesaat malam terdiam dalam kegelapan.

Mendadak ratusan kunang-kunang mulai tarian mereka yang berpendar tak beraturan. Dan di sini, di malam ini, untuk sesaat muncullah bintang-bintang­ sebanyak yang ada di langit atas sana, menghiasi bulan Juni.

"Untuk melihat dan untuk berjuang dalam hidup, tak cukup cuma dengan mengarahkan pandangan seseorang, kesabaran serta jerih payahnya, penting juga untuk mulai memanggil dan menemukan pandangan-panda­ngan lain, yang pada waktunya nanti, akan mulai memanggil dan menemukan pandangan-panda­ngan yang lain lagi. Karena dengan melihat pandangan orang lain, banyak pandangan akan dilahirkan. Dan dunia melihat bahwa hal itu lebih baik sebab ada cukup ruang bagi pandangan setiap orang. Dan ia yang meski berbeda dan berlainan pandangan, bisa melihat berbagai pandangan dan pandangannya sendiri menjalani sejarah yang masih terlewatkan." kata Pak Tua kepadaku. Pak Tua kemudian pergi. Aku terus terduduk sepanjang malam hingga shubuh.

Dan saat kunyalakan sebatang rokokku sekali lagi, ribuan cahaya dari kejauhan menyalakan pandangan dan berpendarlah sinar di sana, tempat semestinya muncul cahaya dan pandangan aneka rupa.

Demikianlah cerita itu meluncur hingga shubuh. Aku berharap kalian akan paham bagaimana melihatku yang sedang melihat kalian. Lantas dari situ, pandangan kalian akan bertemu dengan pandanganku, pandangan orang lain, pandangan banyak orang, dan akan tercipta jalan serta cahaya, dan suatu hari nanti, takkan ada lagi yang tersandung-sand­ung di pagi buta.

Dan untuk melihat di kejauhan, bukan kacamata minus yang dibutuhkan, tetapi visi jangka panjang yang berlimpah dalam martabat orang yang memperjuangkan dan menghidupinya.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.